Bila tidak ada aral melintang, Seno Samudra sebagai Bupati Boyolali tahun 2015 akan berakhir. Berdasarkan desas desus yang beredar Seno tak akan mencalonkan diri untuk kedua kalinya. Namun ini pernyataan yang cukup mengejutkan mengingat kiprah Seno yang cukup menyedot perhatian masyarakat. Satu kebijakan yang disorot banyak masyarakat adalah pemindahan kantor bupati ke Mojosongo dan menyedot anggaran lumayan besar.
Padahal hingga saat ini tantangan Boyolali masih lumayan besar menyangkut beberapa sektor. Sebut di Pertanian, krisis air dimusim kemarau, bencana alam maupun anggaran pembangunan yang terbatas. Padahal wilayah Boyolali sangat luas dan relatif besar sehingga butuh manajemen yang baik agar terjadi pemerataan pembangunan. Waktu itu bupati menjanjikan tidak akan menggunakan APBD namun kenyataannya justru sebaliknya. Nah kini masuk di tahun keempat pemerintahannya, selain belum terlihat terobosan spesifik tantangan lainnya tetap perimbangan anggaran.
Dibeberapa wilayah, Pemkab memang memiliki program RTLH alias perbaikan rumah tidak layak huni. Jumlah anggaran di tahun 2012 sebesar Rp 2,5 M, 2013 dan 2014 besarannya sama yakni Rp 3 M untuk 1000 rumah. Sayangnya masyarakat tidak banyak tahu dan media massa tidak memblow up fakta dilapangan. Dengan jumlah rumah yang dire nov mencapai 1.000, semestinya Pemkab menjabarkan dititik mana rumah-rumah tersebut yang dilakukan perbaikan.
Sedangkan membuka APBD, untuk surplus/(defisit) dibandingkan dengan 6 kab/kota lainnya relatif kecil. Perhitungan SILPA juga tidak melebihi Rp 70 M. Bandingkan dengan pemda lainnya yang sering melebihi angka Rp 100 M bahkan Kota Surakarta Tahun 2012 berdasar perhitungan akhir APBD diatas Rp 200 M, sebuah angka yang fantastis. Untuk PAD, tercatat terus meningkat setidaknya sejak 7 tahun lalu dan 3 tahun terakhir menembus Rp 108 M (2012), Rp 142 M (2013) dan Rp 181 M (2014.
Sementara belanja pegawai Rp 767 M lalu menjadi Rp 831 M dan tahun ini menjadi Rp 922 M. Cukup penting mencari tahu, dengan bukti hitam diatas putih tersebut dan ketidakinginan bupati melanjutkan periode kedua cukup menimbulkan pertanyaan. Namun apabila memang dilandasi niat yang baik, tentu kita pantas memberikan apresiasi yang tinggi. Seharusnya hal seperti inilah yang layak dijadikan contoh, terkecuali memang masyarakat masih menghendaki.
Kondisi politik di Boyolali sendiri kini lebih kondusif dibandingkan sebelumnya. Dalam pemberitaan banyak disinyalir bupati mengkonsolidasikan aparatnya hingga paling bawah. Upaya itu untuk mendukung kepemimpinannya dan apabila tidak membantu dilapangan, ya akan di geser ke daerah pedalaman yang cukup jauh. Hal ini menyebabkan keresahan dikalangan birokrasi. Isu ini menguap begitu saja karena tidak ada yang berani membuka.
Padahal hingga saat ini tantangan Boyolali masih lumayan besar menyangkut beberapa sektor. Sebut di Pertanian, krisis air dimusim kemarau, bencana alam maupun anggaran pembangunan yang terbatas. Padahal wilayah Boyolali sangat luas dan relatif besar sehingga butuh manajemen yang baik agar terjadi pemerataan pembangunan. Waktu itu bupati menjanjikan tidak akan menggunakan APBD namun kenyataannya justru sebaliknya. Nah kini masuk di tahun keempat pemerintahannya, selain belum terlihat terobosan spesifik tantangan lainnya tetap perimbangan anggaran.
Solopos cetak 28 Agustus 2014 |
Sedangkan membuka APBD, untuk surplus/(defisit) dibandingkan dengan 6 kab/kota lainnya relatif kecil. Perhitungan SILPA juga tidak melebihi Rp 70 M. Bandingkan dengan pemda lainnya yang sering melebihi angka Rp 100 M bahkan Kota Surakarta Tahun 2012 berdasar perhitungan akhir APBD diatas Rp 200 M, sebuah angka yang fantastis. Untuk PAD, tercatat terus meningkat setidaknya sejak 7 tahun lalu dan 3 tahun terakhir menembus Rp 108 M (2012), Rp 142 M (2013) dan Rp 181 M (2014.
Sementara belanja pegawai Rp 767 M lalu menjadi Rp 831 M dan tahun ini menjadi Rp 922 M. Cukup penting mencari tahu, dengan bukti hitam diatas putih tersebut dan ketidakinginan bupati melanjutkan periode kedua cukup menimbulkan pertanyaan. Namun apabila memang dilandasi niat yang baik, tentu kita pantas memberikan apresiasi yang tinggi. Seharusnya hal seperti inilah yang layak dijadikan contoh, terkecuali memang masyarakat masih menghendaki.
Kondisi politik di Boyolali sendiri kini lebih kondusif dibandingkan sebelumnya. Dalam pemberitaan banyak disinyalir bupati mengkonsolidasikan aparatnya hingga paling bawah. Upaya itu untuk mendukung kepemimpinannya dan apabila tidak membantu dilapangan, ya akan di geser ke daerah pedalaman yang cukup jauh. Hal ini menyebabkan keresahan dikalangan birokrasi. Isu ini menguap begitu saja karena tidak ada yang berani membuka.