Kapasitas seseorang itu bisa dilihat dari kemampuannya mengeluarkan gagasan dan berdiskusi. Dalam sebuah media online keroyokan yang sering saya baca, Nararya mengupas berbagai hal yang berkaitan dengan filsafat. Disitulah mudah difahami, bagaimana kita mengukur kapasitas seseorang. Cuma yang namanya manusia itu bawaannya memang nafsu. Sehingga tarikan sombong, tinggi hati, besar kepala, sok pintar dan lainnya itu ada. Coba kita amati sekitar kita, memang begitu.
Dalam kehidupan sehari-hari, dijaman yang sudah modern masyarakat dihinggapi perasaan ingin diperhatikan orang lain. Akibatnya ya meninggikan diri sendiri. Mengaku-aku kaya, pintar, bertitel atau kehidupannya sukses. Usahanya dimana-mana, gagasannya selalu brillian dan diakui orang, anaknya meraih cumlaude atau nilai sempurna serta kebohongan lain. Bertemu dengan orang semacam ini memang mengherankan dan secara pribadi sangat kasihan. Dia sebenarnya tidak mampu apa-apa, krisis identitas yang butuh pengakuanlah yang menyebabkan begitu.
Entah rasa itu muncul dari mana, seseorang mengaku punya tanah berhektar-hektar diluar kota yang dipenuhi salak, durian, rambutan atau buah lainnya. Anehnya saat musim buah itu, membawa ke kantor buah durian tak sampai sepuluh biji dan cuma sekali.
Mengaku bergelar PhD disebuah universitas di Amerika dan bukti kelulusannya sudah dirobek-robek karena marah tidak diterima bekerja. Lho kalau beneran begitu, gagasan yang di otaknya jauh lebih bernilai dibanding selembar kertas. Wong berbicaranya saja ga runtut, buat konsep ga bisa, menulis gagasan saja 1 paragraf 1 titik bagaimana tidak dipertanyakan gelarnya? Tidak pernah sekalipun terdengar berbicara dalam bahasa internasional. Cara lain untuk melihat beneran atau tidak, ya pertemanannya di jejaring sosial.
Siapa yang berkomentar atas status seseorang cukup memperlihatkan siapa orang tersebut, bagaimana pengaruhnya, siapa saja temannya dan bagaimana lingkungannya. Kapasitas seseorang ditunjukkan dari pola pikir, sikap dan argumentasinya yang soundness. Bukan komentar yang seakan-akan nyambung tetapi berulang kali gagal paham. Perdebatan yang muncul seringkali diakhirinya dengan emosi, penghindaran atau main telikung dibelakang (memfitnah).
Saya tahu dia sangat menderita. Seandainya apa adanya tentu saya bantu, tak usahlah sok.
Mengaku kaya karena memakai mobil, hp berharga mahal, laptop maunya setahun ganti ternyata semua bohong. Meski cicilannya lunas eh pajaknya sudah 3 tahun ngeblong. Demikian juga laptop dari hasil ngibul sana sini. Fungsi laptop itu ya hanya alat pamer wong bisa di cek di file yang disimpannya juga terbatas. Alasannya entah ter delete, sempat di install atau dokumen dipinjam temannya.
Dalam berdiskusi yang muncul koq argumen wong opini saja sering tak mampu dia keluarkan. Lebih banyak apologi yang dikemukakan. Pembelaan dan pembenaran atas apa yang dipikirannya. Anehnya masih ada yang mempercayai apa yang diungkapkannya di Kampung Ganjil. Ya tidak semua warga meski ketika di sesat pikir itu beranjak, warga ramai mempertanyakan pola pikirnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, dijaman yang sudah modern masyarakat dihinggapi perasaan ingin diperhatikan orang lain. Akibatnya ya meninggikan diri sendiri. Mengaku-aku kaya, pintar, bertitel atau kehidupannya sukses. Usahanya dimana-mana, gagasannya selalu brillian dan diakui orang, anaknya meraih cumlaude atau nilai sempurna serta kebohongan lain. Bertemu dengan orang semacam ini memang mengherankan dan secara pribadi sangat kasihan. Dia sebenarnya tidak mampu apa-apa, krisis identitas yang butuh pengakuanlah yang menyebabkan begitu.
Entah rasa itu muncul dari mana, seseorang mengaku punya tanah berhektar-hektar diluar kota yang dipenuhi salak, durian, rambutan atau buah lainnya. Anehnya saat musim buah itu, membawa ke kantor buah durian tak sampai sepuluh biji dan cuma sekali.
Mengaku bergelar PhD disebuah universitas di Amerika dan bukti kelulusannya sudah dirobek-robek karena marah tidak diterima bekerja. Lho kalau beneran begitu, gagasan yang di otaknya jauh lebih bernilai dibanding selembar kertas. Wong berbicaranya saja ga runtut, buat konsep ga bisa, menulis gagasan saja 1 paragraf 1 titik bagaimana tidak dipertanyakan gelarnya? Tidak pernah sekalipun terdengar berbicara dalam bahasa internasional. Cara lain untuk melihat beneran atau tidak, ya pertemanannya di jejaring sosial.
Siapa yang berkomentar atas status seseorang cukup memperlihatkan siapa orang tersebut, bagaimana pengaruhnya, siapa saja temannya dan bagaimana lingkungannya. Kapasitas seseorang ditunjukkan dari pola pikir, sikap dan argumentasinya yang soundness. Bukan komentar yang seakan-akan nyambung tetapi berulang kali gagal paham. Perdebatan yang muncul seringkali diakhirinya dengan emosi, penghindaran atau main telikung dibelakang (memfitnah).
Saya tahu dia sangat menderita. Seandainya apa adanya tentu saya bantu, tak usahlah sok.
Mengaku kaya karena memakai mobil, hp berharga mahal, laptop maunya setahun ganti ternyata semua bohong. Meski cicilannya lunas eh pajaknya sudah 3 tahun ngeblong. Demikian juga laptop dari hasil ngibul sana sini. Fungsi laptop itu ya hanya alat pamer wong bisa di cek di file yang disimpannya juga terbatas. Alasannya entah ter delete, sempat di install atau dokumen dipinjam temannya.
Dalam berdiskusi yang muncul koq argumen wong opini saja sering tak mampu dia keluarkan. Lebih banyak apologi yang dikemukakan. Pembelaan dan pembenaran atas apa yang dipikirannya. Anehnya masih ada yang mempercayai apa yang diungkapkannya di Kampung Ganjil. Ya tidak semua warga meski ketika di sesat pikir itu beranjak, warga ramai mempertanyakan pola pikirnya.