Rabu, 26 Februari 2014

Apa Kabar RTLH?

Salah satu tugas Pemerintah Daerah bagi warganya adalah menyediakan tempat hunian yang layak bagi yang tidak mampu. Namun banyak Pemda yang abai terhadap hal ini dan kebanyakan terjadi pada Kota yang mulai tumbuh. Beda dengan wilayah kabupaten yang masih terdapat banyak lahan luas maupun penduduk yang belum padat. Migrasi serta ketimpangan ekonomi menjadi penyebab utama kenapa beban kota atas hunian menjadi tantangan yang harus dientaskan. Pemerintah pusat memang menyediakan bantuan bagi hunian warga miskin.

Tidak hanya melalui pembangunan Rusunawa namun juga renovasi terhadap hunian yang tidak layak. Ada yang disalurkan melalui Kementrian PU (Prasarana Wilayah), melalui PNPM maupun melalui bantuan APBD kabupaten/kota. Surakarta sebagai salah satu kota yang berkembang cukup pesat, menjadikan beberapa kawasan menjadi lokasi perkantoran, perdagangan, wisata, olahraga dan lain sebagainya. Akibatnya lokasi hunian bergeser. Bagi warga yang tidak mampu, mereka akan mengontrak, kos, sewa bedeng atau tinggal ditempat yang tidak seharusnya. Sebut saja magersari di bantaran jalan, bantaran rel, bantaran sungai, tinggal di kios, di pasar dan lainnya.

Source : Solopos Cetak
Program perbaikan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) mulai berjalan Tahun 2008. Awalnya program ini malah berasal dari program televisi bernama bedah rumah. Pemerintah mulai tergerak untuk turut membantu warga yang tidak mampu membenahi rumah warga yang tidak layak. Tidak layak disini lebih banyak dikategorikan dari sisi kesehatan bukan luas, jumlah warga yang menghuni atau kategori lainnya. Artinya renovasi itu bukan memperluas rumah, memindah warga yang menghuni satu rumah berlebih, menambah fasilitas atau yang tidak berkait dengan kesehatan.

Sehingga program RTLH fokus pada pembenahan MCK, pembuangan IPAL, lantai, atap hingga dinding rumah. Berapapun luas dan jumlah penghuninya tidak akan disentuh disana. Kota Surakarta sebagai salah satu kota yang berkembang pesat menjadi sasaran program ini. Hingga akhir 2013 tercatat masih ada 14.000 rumah yang harus direnovasi. Dengan biaya Rp 2,5 juta tiap rumah tentu status rumah menjadi layak masih jauh dari harapan. Anggaran itu sangat minim merubah rumah menjadi layak apalagi inflasi tiap tahun masih terjadi.

Tahun 2008 ada 1587 rumah dibenahi dari APBN (Rp 188 juta ) dan APBD (Rp 3 M), Tahun 2009 jumlah rumah dan anggaran totalnya turun drastis. Bahkan di Tahun 2012 dan 2013 tidak ada alokasi APBD Kota untuk merenovasi rumah warga. Hadi Rudyatmo sebagai Walikota Surakarta semestinya kembali memfokuskan program ini sebagai bentuk perbaikan kualitas hidup masyarakatnya. Kondisi rumah yang tidak layak dapat mempengaruhi sektor yang lain baik pendidikan, kesehatan, ekonomi hingga tingkat kriminalitas.

Peningkatan derajat hidup maupun kualitas hidup warga dapat tercermin dan lingkungan tinggal. Setidaknya hunian menjadi tolok ukur kemampuan masyarakat menghadapi kesulitan hidup lainnya. Apalagi bila dibandingkan biaya studi banding anggota DPRD Kota yang Tahun 2013 mencapai Rp 7 M lebih, tentu mencerminkan sisi ketidakadilan. Meski dalam perspektif ekonomi tingkat kota, Surakarta menunjukkan kenaikan yang signifikan tetapi kemampuan masyarakat harusnya menjadi kriteria penilaian tambahan agar tumbuhnya ekonomi bisa berjalan seiring.

0 komentar:

Posting Komentar