Pemilihan Umum Tahun 2014 merupakan Pemilu ke empat pasca Reformasi yang digadang-gadang runtuhnya Orde Baru bakal menghadirkan kesejahteraan warga. Namun apa daya, hingga 15 tahun reformasi berjalan, tingkat kesejahteraan masyarakat tak kunjung meningkat. Secara umum pendapatan warga memang bertambah tetapi naiknya inflasi yang lebih tinggi justru mengabaikan peningkatan pendapatan yang diperoleh masyarakat. Apakah Pemilu keempat sejak 1999 akan membawa perubahan lebih baik? Atau sama saja? atau bahkan lebih buruk?
Dilihat dari peserta pemilu saja, jumlah parpol yang "bertarung" berubah-ubah bahkan relatif terus ada Parpol baru disetiap Pemilu. Parpol ini benar-benar baru bukan parpol koalisi, leburan atau parpol lama yang tidak memenuhi electoral treshold kemudian bertarung lagi. Dari aspek ini bisa dilihat ternyata mendirikan parpol merupakan salah satu hal yang strategis. Soal pengurus, bisa bajak membajak dari manapun. Banyak individu yang suka melompat pindah partai.
Pada pemilu 1999, era baru muncul makanya terjadi euforia parpol. Saat itu KPU merupakan representasi Parpol sehingga banyak sekali parpol yang lolos verifikasi. Padahal belum tentu mereka benar-benar memperjuangkan ideologi mensejahterakan masyarakat. Yang lolos verifikasi sampai 48 partai sehingga kertas caleg luar biasa lebarnya. Pemilihpun kelabakan mencoblos parpol yang memang dipilihnya sebab tak mudah melihat dimana parpol pilihannya. Dari jumlah itu, tak ada separo (20 parpol) yang mendapatkan kursi di DPR RI. Itupun 8 Parpol mendapat 1 kursi dan 2 parpol mendapat 2 kursi sehingga yang memperoleh diatas 2 kursi hanya 10 partai.
Partai pemenang pemilu yakni PDIP dengan 33 persen suara (153 kursi) diikuti Golkar dengan 25 persen suara (120 kursi) dan 12,5 persen suara oleh PPP (58 suara). Lima tahun berikutnya, atau Tahun 2004 ditetapkan 24 partai politik yang bertarung. Pada pemilu inilah dimulai dengan tidak hanya partai tetapi nama Caleg secara terbuka. Sebelumnya DCT hanya ditampilkan dalam pengumuman semata. Dengan daftar nama Caleg, otomatis surat suara juga berukuran besar. Dalam Pemilu 2004 dimenangkan oleh Partai Golkar dengan 21 persen suara (memperoleh 128 kursi), kemudian PDI Perjuangan dengan 18 persen suara (109 kursi) dan PKB dengan 10 persen (52 kursi).
Kemudian di Tahun 2009, jumlah parpol kembali membengkak menjadi 44 partai ditambah 6 partai lokal Aceh. Pemilu 2009 dimenangkan oleh Partai Demokrat, dengan prosentase 20 persen suara (150 kursi), posisi kedua oleh Partai Golkar dengan 14,45 persen mendapat 107 kursi dan posisi ketiga PDI Perjuangan dengan 14,03 persen yang hanya meraih 95 kursi saja. Pemilu Tahun 2009 ditandai dengan perubahan besar tentang Caleg yang berhak menjadi anggota legislatif. Mahkamah Konstitusi yang waktu itu diketuai oleh Mahfudz MD menetapkan Caleg terpilih yakni yang meraih suara terbanyak bukan lagi berdasarkan nomor urut.
Perubahan signifikan ini telah menyebabkan banyak pengurus partai yang tidak aktif terjun ke masyarakat gagal terpilih. Atau juga, Caleg dengan kemampuan finansial besar tingkat keterpilihannya lebih tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh pola kampanye massif dalam beragam bentuk dan dapat juga digunakan model pertemuan atau dengan membantu warga. Pada konteks nasional kemenangan telak Demokrat lebih banyak disebabkan performa Presiden SBY ditahun pertamanya yang dianggap masyarakat memberi kesan baik. Lantas, bagaimana dengan Pemilu 2014?
Tahun ini Pemilu akan diikuti oleh "hanya" 12 partai politik nasional dan 3 parpol lokal Aceh. Tahun ini pertarungan yang cukup fair bagi berbagai partai. Bagi Demokrat, era SBY sudah selesai, bagi Prabowo inilah tantangan menunjukkan seberapa garang Gerindra. Bagi Golkar, penting menandakan ARB apakah mampu mengelola isu lewat media yang dikuasainya. Yang tidak banyak dilirik adalah Hanura yang optimis mencalonkan Wiranto-Harry Tanoe pemilik MNC Group. Meski mencoba terus-menerus kampanye di MNC Group nampaknya tidak banyak yang simpati.
Sedangkan beberapa partai lain, terkesan tidak serius mengajukan Capres sebelum Pemilu diselenggarakan. PAN tidak getol "menjajakan" Hatta Rajasa, PPP bingung dan tidak yakin dengan SDA atau bahkan PKB berdiri di 2 Capres antara Mahfudz MD dan H Rhoma Irama. Sementara PDI Perjuangan belum mengajukan Capres. Di arus bawah menghendaki Gubernur DKI Jakarta, Ir H Joko Widodo sedangkan kewenangan berada di Ketua Umum Megawati. Namun kalau mau memenangkan Pileg, sebaiknya segera umumkan Joko Widodo sebagai Capres.
Dilihat dari peserta pemilu saja, jumlah parpol yang "bertarung" berubah-ubah bahkan relatif terus ada Parpol baru disetiap Pemilu. Parpol ini benar-benar baru bukan parpol koalisi, leburan atau parpol lama yang tidak memenuhi electoral treshold kemudian bertarung lagi. Dari aspek ini bisa dilihat ternyata mendirikan parpol merupakan salah satu hal yang strategis. Soal pengurus, bisa bajak membajak dari manapun. Banyak individu yang suka melompat pindah partai.
Saat kampanye, bendera parpol dimana-mana |
Partai pemenang pemilu yakni PDIP dengan 33 persen suara (153 kursi) diikuti Golkar dengan 25 persen suara (120 kursi) dan 12,5 persen suara oleh PPP (58 suara). Lima tahun berikutnya, atau Tahun 2004 ditetapkan 24 partai politik yang bertarung. Pada pemilu inilah dimulai dengan tidak hanya partai tetapi nama Caleg secara terbuka. Sebelumnya DCT hanya ditampilkan dalam pengumuman semata. Dengan daftar nama Caleg, otomatis surat suara juga berukuran besar. Dalam Pemilu 2004 dimenangkan oleh Partai Golkar dengan 21 persen suara (memperoleh 128 kursi), kemudian PDI Perjuangan dengan 18 persen suara (109 kursi) dan PKB dengan 10 persen (52 kursi).
Kemudian di Tahun 2009, jumlah parpol kembali membengkak menjadi 44 partai ditambah 6 partai lokal Aceh. Pemilu 2009 dimenangkan oleh Partai Demokrat, dengan prosentase 20 persen suara (150 kursi), posisi kedua oleh Partai Golkar dengan 14,45 persen mendapat 107 kursi dan posisi ketiga PDI Perjuangan dengan 14,03 persen yang hanya meraih 95 kursi saja. Pemilu Tahun 2009 ditandai dengan perubahan besar tentang Caleg yang berhak menjadi anggota legislatif. Mahkamah Konstitusi yang waktu itu diketuai oleh Mahfudz MD menetapkan Caleg terpilih yakni yang meraih suara terbanyak bukan lagi berdasarkan nomor urut.
Perubahan signifikan ini telah menyebabkan banyak pengurus partai yang tidak aktif terjun ke masyarakat gagal terpilih. Atau juga, Caleg dengan kemampuan finansial besar tingkat keterpilihannya lebih tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh pola kampanye massif dalam beragam bentuk dan dapat juga digunakan model pertemuan atau dengan membantu warga. Pada konteks nasional kemenangan telak Demokrat lebih banyak disebabkan performa Presiden SBY ditahun pertamanya yang dianggap masyarakat memberi kesan baik. Lantas, bagaimana dengan Pemilu 2014?
Tahun ini Pemilu akan diikuti oleh "hanya" 12 partai politik nasional dan 3 parpol lokal Aceh. Tahun ini pertarungan yang cukup fair bagi berbagai partai. Bagi Demokrat, era SBY sudah selesai, bagi Prabowo inilah tantangan menunjukkan seberapa garang Gerindra. Bagi Golkar, penting menandakan ARB apakah mampu mengelola isu lewat media yang dikuasainya. Yang tidak banyak dilirik adalah Hanura yang optimis mencalonkan Wiranto-Harry Tanoe pemilik MNC Group. Meski mencoba terus-menerus kampanye di MNC Group nampaknya tidak banyak yang simpati.
Sedangkan beberapa partai lain, terkesan tidak serius mengajukan Capres sebelum Pemilu diselenggarakan. PAN tidak getol "menjajakan" Hatta Rajasa, PPP bingung dan tidak yakin dengan SDA atau bahkan PKB berdiri di 2 Capres antara Mahfudz MD dan H Rhoma Irama. Sementara PDI Perjuangan belum mengajukan Capres. Di arus bawah menghendaki Gubernur DKI Jakarta, Ir H Joko Widodo sedangkan kewenangan berada di Ketua Umum Megawati. Namun kalau mau memenangkan Pileg, sebaiknya segera umumkan Joko Widodo sebagai Capres.