Selasa, 07 Januari 2014

Elpiji dan Keppres Layanan Kesehatan Pejabat, Mainan Politik Jelang 2014

Pertamina sebagai satu-satunya perusahaan yang menjual elpiji di Indonesia menaikkan harga awal Januari 2014. Kenaikan yang tidak tanggung-tanggung untuk ukuran 12 kg dari harga Rp 70an ribu menjadi Rp 128 ribu. Begitu ada protes dari masyarakat akhirnya pemerintah menurunkan kembali harganya hingga naik cuma Rp 1.000 perkilo. Meski demikian, kenaikan harga itu tanpa biaya distribusi dan lainnya. Sehingga ketika dijual oleh agen rata-rata diatas Rp 90 ribu. Bahkan di luar Jawa harga sudah diatas Rp 120an ribu. Kondisi ini makin membebani warga.

Pertanyaan kritisnya yaitu kenapa kenaikan harga yang dilakukan pertamina tanpa di konsultasikan dengan pemerintah? Toh saham Pertamina 100 persen dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah sendiri beralasan bahwa kebijakan kenaikan harga itu kewenangan perusahaan. Sementara alasan Pertamina agar tidak rugi sebab biaya produksi elpiji 12 kg sudah tidak layak. Artinya konsumen 12 kg tidak layak mendapat subsidi dengan alasan banyak digunakan kelas menengah. Benarkah argumen ini?

Padahal secara jelas pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa air, tanah dan kekayaan alam digunakan untuk kemakmuran rakyat. Disini pemerintah tidak boleh sewenang-wenang menetapkan harga. Seharusnya segala produk sumber daya alam yang langsung di konsumsi masyarakat luas tetap harus mendapat subsidi terkecuali konsumsi yang diatas batas kewajaran. Kenapa tidak diterapkan tarif progresif? Misalnya setiap pengguna mendapat e card untuk pembelian gas. Bila dalam sebulan membeli lebih dari 2 tabung gas 12 kg atau 5 tabung gas 3 kg dikenakan tambahan biaya.

Jamal Mirdad, artis yang menjadi legislator

Pemerintah sendiri sedang merencanakan hal ini untuk pembelian BBM terutama bensin. Bila sulit membatasi siapa pengguna BBM kelas masyarakat dan pengusaha sebaiknya dikenakan insentif. Sudah ada model pemberlakuan seperti ini misalnya pajak kendaraan mewah atau kendaraan (mobil) ketiga dan seterusnya. Apalagi sudah banyak individu yang memiliki e-ktp sehingga lebih mudah mengontrolnya. Untuk konsumsi BBM jenis premium pemerintah tinggal memasang alatnya saja. Bagaimana dengan penjual bensin eceran? Dikenakan saja tarif batas atas sehingga yang mengkonsumsi eceran juga terkena konsekuensi.

Sejauh ini masih banyak model layanan publik yang kurang bisa dipisahkan antara konsumsi orang mampu dan tidak. Pilihan yang cukup adil tente melepaskan semua proteksi atau subsidi namun syaratnya adalah bantuan untuk warga miskin harus benar-benar diterapkan secara benar. Beri sanksi yang bukan warga miskin bila menerimanya. Sayangnya saat bersamaan pada Januari, Presiden malah mengeluarkan Keppres tentang bantuan layanan kesehatan pejabat hingga berobat keluar negeri meski kemudian dibatalkan.

Munculnya 2 kebijakan yang kemudian direvisi (elpiji dan keppres layanan kesehatan pejabat) menunjukkan ada korelasi mainan kebijakan dengan situasi politik untuk 2014. Kalangan legislatif sepertinya juga tidak cukup kuat memiliki analisis jitu untuk bertarung membatalkan kebijakan legislatif. Kebanyakan legislatif sering asal menolak berbeda dengan expert yang mampu berdiskusi dengan menunjukkan titik mana kelemahan kebijakan pemerintah.

Kedepan, harusnya wakil rakyat yang terpilih adalah anggota DPR yang memiliki kapasitas dan kapabilitas diri untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Bukan seperti periode sekarang yang justru banyak terkena jerat kasus korupsi. Masyarakat harus benar-benar membedah mana caleg yang memiliki integritas dan kapasitas yang memadai. Tidak sekedar terjebak pada kelompok partai alias fanatisme buta. Sayangnya pemilu ini belum ada lembaga yang mempublikasi rekam jejak caleg 2014 sehingga bisa saja rakyat bagai membeli srigala dalam karung.

0 komentar:

Posting Komentar