Moratorium PNS sebenarnya telah dimulai tahun 2005 dengan diberlakukannya PP Nomor 48 Tahun 2005 oleh pusat. Hanya saja pada prakteknya banyak pemerintah daerah tetap mengangkat honorer dengan bahasa yang berbeda-beda. Ada yang memakai istilah tenaga kontrak, tenaga harian lepas, tenaga tidak tetap, honorer daerah dan masih banyak yang lainnya. Walaupun secara nasional sudah tidak dialokasikan lagi, faktanya APBD banyak terserap untuk membiayai tenaga rekrutan ini. Alasannya beragam, kekurangan pegawai, kebutuhan lapangan dan lain sebagainya.
Pada tanggal 1 September 2011 akhirnya pemerintah benar-benar tegas menghentikan dan melarang daerah membayar mereka. Akibatnya puluhan ribu tenaga kontrak protes. Tidak hanya tenaga kontrak daerah saja tetapi ada beberapa kementrian yang memang mengontrak mereka, salah satunya Kementrian Pertanian yang mempekerjakan THL TBPP (Tenaga Harian lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian) diberbagai wilayah juga turut menuntut diangkat menjadi PNS walaupun dalam kontrak mereka terdapat klausul tidak boleh menuntut diangkat menjadi PNS.
Secara nasional juga keluar kebijakan penambahan PNS daerah harus dengan beberapa syarat diantaranya analisis beban kerja serta alokasi APBD belanja langsungnya diatas 50 persen. Bagi kalangan pemerintah daerah, persyaratan ini cukup berat terutama Pemda di Pulau Jawa. Penyebabnya yakni mereka tidak memiliki SDA yang bisa mendongkrak alokasi belanja langsung membesar hingga mencapai 50 persen. otomatis kebutuhan pembiayaan pegawai tidak bisa ditekan. Pun tiap tahun terdapat kenaikan gaji PNS sehingga otomatis DAU dari pusat terus meningkat.
Apabila diperhitungkan, moratorium ini tidak otomatis mengurangi alokasi Belanja Tidak Langsung. Salah satu contohnya di Kabupaten Boyolali. Sejak Tahun 2010, jumlah PNS di kabupaten susu itu terus menurun bahkan hingga 2013 jumlahnya berkurang 1012 pegawai. Pengurangan yang cukup signifikan. Akan tetapi dilihat dari alokasi Belanja Tidak Langsung khususnya Belanja Pegawai. Pada Tahun 2010, dari APBD Rp 964 M, sebesar 83,11 persen Rp 679 M untuk gaji pegawai. Tahun 2011 APBD mencapai Rp 1,103 T gaji pegawai menyerap 89 persen (Rp 728 M), Tahun 2012 kembali naik menjadi Rp 1,232 T alokasi gaji menghabiskan 87,87 persen atau Rp 767 M dan 2013 dari Rp 1,422 T sebesar Rp 831 M atau 86,13 dialokasikan untuk gaji.
Sementara jumlah PNS terus berkurang beriringan tiap tahunnya. Dengan kondisi ini tentunya kepala daerah sebagai seorang manajer perlu membuat terobosan penting. Beban gaji PNS ditambah keharusan penganggaran bidang pendidikan 20 persen serta layanan murah/gratis bagi warga tidak mampu di bidang kesehatan ditata agar tidak membengkak. Apalagi kini model layanan berganti ke Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak berupa premi atau pembayaran pasca digunakan melainkan premi flat dan dibayar didepan perlu disikapi bijaksana.
Tanpa itu semua, alokasi APBD makin tidak terkontrol. Sayangnya Bupati justru lebih memprioritaskan perpindahan kantor Pemda sehingga puluhan miliar digunakan untuk proses itu. Sudah banyak kalangan yang mengkritisi dan hal ini harus dijawab dengan layanan publik yang lebih baik. Tanpa itu semua, sulit kiranya membenahi performance pemerintahan daerah. Seno Samudro sebagai kepala daerah masih memiliki kesempatan untuk melahirkan inovasi. Sehingga beban anggaran dan beban masyarakat Boyolali bisa berkurang.
Pada tanggal 1 September 2011 akhirnya pemerintah benar-benar tegas menghentikan dan melarang daerah membayar mereka. Akibatnya puluhan ribu tenaga kontrak protes. Tidak hanya tenaga kontrak daerah saja tetapi ada beberapa kementrian yang memang mengontrak mereka, salah satunya Kementrian Pertanian yang mempekerjakan THL TBPP (Tenaga Harian lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian) diberbagai wilayah juga turut menuntut diangkat menjadi PNS walaupun dalam kontrak mereka terdapat klausul tidak boleh menuntut diangkat menjadi PNS.
Source : Solopos cetak (Jan 2014) |
Secara nasional juga keluar kebijakan penambahan PNS daerah harus dengan beberapa syarat diantaranya analisis beban kerja serta alokasi APBD belanja langsungnya diatas 50 persen. Bagi kalangan pemerintah daerah, persyaratan ini cukup berat terutama Pemda di Pulau Jawa. Penyebabnya yakni mereka tidak memiliki SDA yang bisa mendongkrak alokasi belanja langsung membesar hingga mencapai 50 persen. otomatis kebutuhan pembiayaan pegawai tidak bisa ditekan. Pun tiap tahun terdapat kenaikan gaji PNS sehingga otomatis DAU dari pusat terus meningkat.
Apabila diperhitungkan, moratorium ini tidak otomatis mengurangi alokasi Belanja Tidak Langsung. Salah satu contohnya di Kabupaten Boyolali. Sejak Tahun 2010, jumlah PNS di kabupaten susu itu terus menurun bahkan hingga 2013 jumlahnya berkurang 1012 pegawai. Pengurangan yang cukup signifikan. Akan tetapi dilihat dari alokasi Belanja Tidak Langsung khususnya Belanja Pegawai. Pada Tahun 2010, dari APBD Rp 964 M, sebesar 83,11 persen Rp 679 M untuk gaji pegawai. Tahun 2011 APBD mencapai Rp 1,103 T gaji pegawai menyerap 89 persen (Rp 728 M), Tahun 2012 kembali naik menjadi Rp 1,232 T alokasi gaji menghabiskan 87,87 persen atau Rp 767 M dan 2013 dari Rp 1,422 T sebesar Rp 831 M atau 86,13 dialokasikan untuk gaji.
Sementara jumlah PNS terus berkurang beriringan tiap tahunnya. Dengan kondisi ini tentunya kepala daerah sebagai seorang manajer perlu membuat terobosan penting. Beban gaji PNS ditambah keharusan penganggaran bidang pendidikan 20 persen serta layanan murah/gratis bagi warga tidak mampu di bidang kesehatan ditata agar tidak membengkak. Apalagi kini model layanan berganti ke Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak berupa premi atau pembayaran pasca digunakan melainkan premi flat dan dibayar didepan perlu disikapi bijaksana.
Tanpa itu semua, alokasi APBD makin tidak terkontrol. Sayangnya Bupati justru lebih memprioritaskan perpindahan kantor Pemda sehingga puluhan miliar digunakan untuk proses itu. Sudah banyak kalangan yang mengkritisi dan hal ini harus dijawab dengan layanan publik yang lebih baik. Tanpa itu semua, sulit kiranya membenahi performance pemerintahan daerah. Seno Samudro sebagai kepala daerah masih memiliki kesempatan untuk melahirkan inovasi. Sehingga beban anggaran dan beban masyarakat Boyolali bisa berkurang.