Pemberitaan media massa dalam kurun 5 tahun terakhir seperti tak pernah sepi dari kasus korupsi baik ditingkat nasional maupun daerah. Walau KPK sudah berkali-kali melakukan operasi tangkap tangan (OTT), rupanya koruptor lain menganggap si pelaku sedang sial saja sehingga dia mencoba melakukannya sendiri. Bukti nyata yang terakhir adalah kasus OTT terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muchtar yang ditangkap di rumah dinasnya. Seperti biasa pelaku korupsi lainnya, awal ditangkap selalu mengelak dengan beragam argumen.
KPK tak pernah meladeni sanggahan atau bantahan pelaku. Mereka tetap menjalankan proses penyidikan sesuai prosedur dan akhirnya masyarakat tahu sendiri betapa bejatnya Akil Muchtar. Apalagi ditambah dengan penemuan lintingan ganja diruang kerjanya. Pasca ditemukannya beberapa bukti pendukung, suara Akil Muchtar kini bak ditelan bumi, sunyi dan tak ada sedikitpun apalogi lagi. Demikian pula dengan penasehat hukumnya yang makin hari kerepotan menjawab tindakan KPK yang mampu menunjukkan berbagai bukti pendukung.
Sayangnya, saat ini banyak koruptor-koruptor yang usianya masih sangat belia dan sifat rakusnya sudah luar biasa. Entah mereka memiliki sifat korup dari siapa. Apakah sistem di institusi mereka yang lemah, rayuan pasangan, sifat sedari lahir yang serakah atau mereka hidup dilingkungan yang korup. Tentu para orang tua mereka bersedih melihat anak-anaknya yang usianya belum 40 tahun sifat korupnya sudah tinggi. Kalau soal tuntutan hidup, sepertinya tidak karena koruptor muda ini hidup diatas rata-rata masyarakat Indonesia. Apalagi mereka memiliki jabatan/profesi yang mentereng.
Kita lihat misalnya Gayus Tambunan, yang usianya baru 34 tahun dan memiliki pekerjaan sebagai PNS di Ditjen Pajak. Anak baru satu, istri PNS dilingkungan Pemprop Jakarta. Sulit menerka apa motivasi tindakanannya itu. Kemudian Angelina Sondaakh, 39 tahun anak sudah 3 namun berlatar belakang artis. Jabatan di Partai Demokrat sudah Wakil Sekjen alias sudah memiliki posisi penting. Dia utusan Fraksi Demokrat serta perwakilan Komisi X di Badan Anggaran DPR. Suaminya (saat itu) juga anggota DPR yakni Adjie Massaid.
Yang fenomenal yakni Muhammad Nazaruddin, bekas Bendahara Partai Demokrat yang berusia baru 35 tahun. Anak baru 1, telah memiliki berbagai usaha meski diduga usahanya berkaitan dengan proyek-proyek kementrian. Pekerjaan terakhir adalah anggota DPR. Sebelum tertangkap, Nazaruddin melarikan diri hingga ke kolumbia. Artinya stok uang melimpah dan dengan perusahaan yang masih beroperasi, memenuhi hidup dengan standart atau diatas rata-rata saja masih banyak uang yang tersisa.
Masih banyak koruptor muda lain yakni Dhana Widyatmika, 37 tahun (Ditjen Pajak), Tommy Hindratno (Ditjen Pajak), Wa Ode Nurhayati, 32 tahun (anggota DPR), Fahd A Rafiq, Dendy Prasetya serta koruptor yang berada di daerah-daerah. Lantas siapa yang sebenarnya harus bertanggungjawab atas maraknya para koruptor muda ini? Pemberantasan korupsi memang tanggungjawab KPK namun pencegahan korupsi adalah tanggungjawab kita bersama.
Dari sekian koruptor muda itu, yang tak pantas di contoh adalah Zulkarnain Djabar. Dia melakukan korupsi dengan melibatkan anaknya. Setidaknya para orang tua zaman sekarang penting menekankan pendidikan anti korupsi sejak dini. Nilai-nilai kejujuran harus ditanamkan secara nyata agar anak-anak yang tumbuh tidak terbiasa berkutat dengan korupsi termasuk korupsi waktu, korupsi nilai apalagi korupsi etika. Krisis keteladanan di Indonesia mesti segera ditangani. Media berperan penting mengkampanyekan anak-anak muda yang berprestasi.
0 komentar:
Posting Komentar