Dalam sebuah rapat Rt dikampung, seksi sosial ketika dimintai laporan pengeluaran kas untuk menjenguk tetangga yang sakit memberi pernyataan yang cukup mengejutkan. Dia mengatakan “Alhamdulillah secara fisik warga kita sehat-sehat saja, tapi secara fisik lho ya” ujar pria yang bekerja sebagai editor penerbit ini. Karuan statement ini menimbulkan senyum, tertawa kecil hingga ada yang menundukkan kepala warga yang hadir.
Bagi masyarakat Jawa, ungkapan kalimat diatas memang mengandung sindiran yang luar biasa halus namun mendalam. Kami sebenarnya tinggal diperumahan dan secara rutin ada iuran bulanan. Namun seringkali untuk memelihara lingkungan, peringatan hari besar, menjenguk tetangga yang sakit kadang harus ada biaya ekstra. Maka dari itu disepakati ada jimpitan yang besarannya terserah warga mulai Rp 100 hingga tak terhingga. Yang mengambil jimpitan juga digilir pada malam hari. Ini sebagai upaya pengawasan lingkungan, keakraban warga dan pemasukan kas tambahan.
Namun dalam prakteknya yang mengisi jimpitan hanya 60-70 persen saja dan petugas tiap malam yang aktif juga tidak sampai separo dari yang dijadualkan. Meski sudah diingatkan tetap saja tidak berubah. Beberapa individu sepertinya menganggap bahwa bertemu dan bercengkerama dengan tetangga lain cuma menghabiskan waktu saja. Padahal pos ronda diramaikan dengan pedagang HIK (warungan khas Solo) yang dijajakan tetangga sendiri buka hingga malam. Disitu tak ada miras, judi, atau kegiatan yang melanggar.
Sesekali kami mendapati cerita serupa di Rt lain yang meski kebanyakan berasal dari desa di seputaran Solo namun rasa guyub (merasa dekat seperti saudara) sudah mulai tercerabut.Perumahan kami juga bukan perumahan elit namun perumahan mewah (mepet sawah). Seorang tetangga bercerita bahwa partnernya jarang masuk kantor meski di gaji besar. Yang lain bertutur, lunturnya simpati dan empati. Buktinya ada teman yang melahirkan atau sakit juga tak berkunjung.
Atau cerita lain mengenai seseorang yang suka menjelek-jelekkan teman sekantornya ke pihak luar padahal si pencerita sendiri ke kantor juga seminggu sekali. Alasannya mendapat tugas lain dari kepala daerah yang jauh lebih penting. Ada pula tetangga kami yang punya mobil 3 (maklum memang penyedia jasa sewa mobil) kalau diajak nengok tetangganya sakit hampir lebih suka nunut mobil lain dibanding mengeluarkan mobil sendiri meski mobilnya lebih bagus dan ndongkrok dirumah.
Padahal manusia itu memiliki jiwa bawaan yakni jiwa sosial, namun bila sedikit demi sedikit jiwa a sosial dipupuk seakan-akan menjadi sanggup hidup tanpa tetangga sekeliling. Pun demikian dengan sumbangan atau bantuan pembangunan publik yang akan digunakan secara bersama-sama. Seringkali warga menilai bila menyetor dana maka dirinya langsung akan jatuh miskin meski hanya menyumbang Rp 10.000 hingga ratusan ribu. Dalam ajaran agama yang mayoritas dianut warga difahami bahwa sumbangan atau bahasa lain shodaqah sejatinya tidak pernah hilang.
Bantuan itu justru akan dilipatgandakan oleh Allah SWT baik didunia maupun di akhirat. Hanya kebanyakan masyarakat sudah menganggap apa yang berlaku didunia itu semua serba jual beli. Bila menyumbang sesuatu ya harus ada timbal balik yang langsung harus diterima. Padahal seringkali bantuan kita itu diganti dengan bentuk lain yang nilainya jauh diatas uang yang kita donasikan. Sebut saja nilai kesehatan yang kita miliki sebenarnya sudah ratusan miliar. Sayangnya banyak yang tidak menyadari. Entah sampai kapan masyarakat kita akan terus sakit begini.
Bagi masyarakat Jawa, ungkapan kalimat diatas memang mengandung sindiran yang luar biasa halus namun mendalam. Kami sebenarnya tinggal diperumahan dan secara rutin ada iuran bulanan. Namun seringkali untuk memelihara lingkungan, peringatan hari besar, menjenguk tetangga yang sakit kadang harus ada biaya ekstra. Maka dari itu disepakati ada jimpitan yang besarannya terserah warga mulai Rp 100 hingga tak terhingga. Yang mengambil jimpitan juga digilir pada malam hari. Ini sebagai upaya pengawasan lingkungan, keakraban warga dan pemasukan kas tambahan.
Namun dalam prakteknya yang mengisi jimpitan hanya 60-70 persen saja dan petugas tiap malam yang aktif juga tidak sampai separo dari yang dijadualkan. Meski sudah diingatkan tetap saja tidak berubah. Beberapa individu sepertinya menganggap bahwa bertemu dan bercengkerama dengan tetangga lain cuma menghabiskan waktu saja. Padahal pos ronda diramaikan dengan pedagang HIK (warungan khas Solo) yang dijajakan tetangga sendiri buka hingga malam. Disitu tak ada miras, judi, atau kegiatan yang melanggar.
Sesekali kami mendapati cerita serupa di Rt lain yang meski kebanyakan berasal dari desa di seputaran Solo namun rasa guyub (merasa dekat seperti saudara) sudah mulai tercerabut.Perumahan kami juga bukan perumahan elit namun perumahan mewah (mepet sawah). Seorang tetangga bercerita bahwa partnernya jarang masuk kantor meski di gaji besar. Yang lain bertutur, lunturnya simpati dan empati. Buktinya ada teman yang melahirkan atau sakit juga tak berkunjung.
Atau cerita lain mengenai seseorang yang suka menjelek-jelekkan teman sekantornya ke pihak luar padahal si pencerita sendiri ke kantor juga seminggu sekali. Alasannya mendapat tugas lain dari kepala daerah yang jauh lebih penting. Ada pula tetangga kami yang punya mobil 3 (maklum memang penyedia jasa sewa mobil) kalau diajak nengok tetangganya sakit hampir lebih suka nunut mobil lain dibanding mengeluarkan mobil sendiri meski mobilnya lebih bagus dan ndongkrok dirumah.
Padahal manusia itu memiliki jiwa bawaan yakni jiwa sosial, namun bila sedikit demi sedikit jiwa a sosial dipupuk seakan-akan menjadi sanggup hidup tanpa tetangga sekeliling. Pun demikian dengan sumbangan atau bantuan pembangunan publik yang akan digunakan secara bersama-sama. Seringkali warga menilai bila menyetor dana maka dirinya langsung akan jatuh miskin meski hanya menyumbang Rp 10.000 hingga ratusan ribu. Dalam ajaran agama yang mayoritas dianut warga difahami bahwa sumbangan atau bahasa lain shodaqah sejatinya tidak pernah hilang.
Bantuan itu justru akan dilipatgandakan oleh Allah SWT baik didunia maupun di akhirat. Hanya kebanyakan masyarakat sudah menganggap apa yang berlaku didunia itu semua serba jual beli. Bila menyumbang sesuatu ya harus ada timbal balik yang langsung harus diterima. Padahal seringkali bantuan kita itu diganti dengan bentuk lain yang nilainya jauh diatas uang yang kita donasikan. Sebut saja nilai kesehatan yang kita miliki sebenarnya sudah ratusan miliar. Sayangnya banyak yang tidak menyadari. Entah sampai kapan masyarakat kita akan terus sakit begini.