Jumat, 05 Juli 2013

Pengaturan Keberadaan Toko Modern Berjejaring

Era globalisasi memang ditandai salah satunya dengan memudarnya batas-batas wilayah. Akibatnya ruang-ruang atau kawasan yang dulu merupakan kawasan 1 negara, bisa dimasuki oleh negara lain dalam berbagai bentuk. Bila dulu masuknya pihak lain masih berupa simbol fisik yang dapat terlihat dan diatur, kini era teknologi menjadikan infiltrasi berbagai bidang masuk ke ruang-ruang privat. Entah itu bidang kesehatan, pendidikan, teknologi, olahraga dan lain sebagainya.

Yang paling banyak terkena "serangan" dan merubah kondisi salah satunya adalah budaya. Lihat saja sekarang budaya memahat, tari, ukir, suara, alat musik banyak yang ditinggalkan dan diganti beragam jenis budaya internasional. Kita hampir memiliki budaya yang sama dengan negara di Amerika maupun di Eropa yakni berupa teknologi bernama internet. Dibidang ekonomi batas usaha yang dimiliki masyarakat kini juga mulai teredusir oleh kaum pemilik modal.

Ilustrasi
Contoh konkrit di Kota Solo yang luasnya hanya 44 km2, memiliki 51 kelurahan dan 500ribuan jiwa. Meski demikian, pasca Jokowi memimpin kota ini berkembang cukup pesat. Hal ini bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang ada baik formal maupun informal. Agenda kota yang melibatkan pihak luar hampir tiap bulan slalu ada. Hal ini tentu menarik minat investasi bagi pemilik modal. Dengan sudah memiliki 26 hotel berbintang, masih ada lebih dari 5 hotel lain yang kini dalam proses pembangunan dan lainnya sedang pengajuan ijin.

Disisi lain, pasar tradisional sendiri sudah berjumlah 49 buah ditambah toko modern berjejaring mencapai 49 buah juga. Melihat hal ini seharusnya pemerintah kota menghentikan pengajuan ijin baru agar tingkat usaha masyarakat bisa terjaga. Perbandingan tersebut dapat menggambarkan setidaknya dalam 1 kelurahan ada 1 pasar tradisional dan 1 toko modern. Padahal diluar toko modern masih ada supermarket, mall maupun hipermarket yang beberapa diantaranya berada di pusat kota.

Bila Pemkot melihat jauh kedepan, sebaiknya keberadaan toko modern berjejaring itu segera ditata, diatur dan ditertibkan. Ada yang sudah kelewat buka malah tanpa batas waktu alias buka 24 jam yang mengganggu toko milik masyarakat setempat. Sebenarnya pemodal-pemodal besar yang masuk ke Solo/sebuah wilayah harus dibatasi agar pemodal setempat yang tanggung dan kecil bisa terus hidup menjalankan usahanya sendiri.

Sesuai pada aturan di Perda tentang pasar tradisional, pendirian toko modern hanya dibatasi mengenai jarak saja yakni 500 meter. Padahal seperti kita tahu, untuk PKL baru di Kota Solo yang diijinkan hanya yang berKTP Solo. Bisa jadi aturan ini diadopsi menjadi pemilik toko modern harus ber KTP Solo, merekrut pegawai dari Kota Solo, komposisi kewilayahan harus diatur pula. Bagi kelurahan yang kecil, hanya ada 1 atau 2 toko modern berjaring tentu akan cukup. Namun bagi kelurahan yang besar bisa ditambah. Atau bisa pula ada tambahan keberadaan mereka hanya ditepi jalan nasional, misalnya.

Intinya keberadaan sebuah komunitas harus berimbang dengan pihak yang lain supaya tidak ada ketimpangan sosial. Pemilik toko modern berjejaring biasanya adalah orang yang memang sudah punya usaha mapan. Artinya kalau toh pun ijin ditolak, dia bisa mengajukan ijin ditempat/kota lain. Untuk bertahan hidup juga masih bisa mengandalkan usaha yang sudah dulu ada. Bagaimana dengan masyarakat bawah yang toko kelontong miliknya adalah harapan satu-satunya? Kalau akibat toko modern itu tutup, dia pasti bingung akan bergantung pada siapa. Oleh sebab itu, penting mengatur keberadaan Toko Modern.

0 komentar:

Posting Komentar