Jumat, 19 Juli 2013

Kualitas Perencanaan Pembangunan Kelurahan Di Kota Solo Menurun

Meskipun perencanaan partisipasi masyarakat di Kota Solo telah lebih 12 tahun namun secara kualitas tak terjadi peningkatan secara signifikan. Dapat ditemukan beberapa kasus bahwa kualitas perencanaan telah beralih dari tujuan semula yakni peningkatan kesejahteraan menjadi seremoni. Seremoni sejak penyelenggaraan perencanaan, finalisasi dokumen, pengajuan anggaran, pelaksanaan kegiatan hingga pelaporan kegiatan.

Padahal Kota Solo telah menjadi pelopor dalam isu ini di level nasional. Sebenarnya sangat disayangkan hal ini terjadi. Berbagai aspek pendukung baik di masyarakat, pelaksana kegiatan, perangkat kelurahan, SKPD hingga regulasi relatif stagnan. Tak pernah ada evaluasi apalagi yang mandiri untuk menilai kualitas perencanaan pembangunan. Apa akibatnya? Kegiatan Musrenbang menjadi kegiatan monoton yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat.

Lihat saja dalam penyelenggaraan perencanaan sudah mulai terfokus hanya mengisi form yang telah tersedia. Minim sekali dinamika sosial untuk beradu argumen kenapa sebuah program harus diperjuangkan alias lebih diutamakan dibandingkan program lain. Kebanyakan ya hanya mengumpulkan usulan alias shoping list. Masyarakat tidak cukup banyak belajar untuk mengambil keputusan dengan segala konsekuensi yang dimiliki.

Ngarsopuro Tak Pernah Masuk Musrenbang
Meski ada pembelajaran namun kualitas maupun kuantitasnya tidak signifikan dibanding proses, waktu, tenaga dan sumber daya yang dikerahkan untuk itu. Dalam finalisasi dokumen yang dilakukan tim perumus banyak mendelegitimasi substansi kebutuhan masyarakat. Filter alias parameter yang disosialisasikan dalam Perwali tentang Juklak Juknis Musrenbang sering diabaikan. Pada proses pengajuan anggaran, Pemkot memberi kesempatan waktu tak cukup banyak.

Bayangkan saja pada bulan Juli 2013 masih ada 76 persen kelurahan belum menyerahkan proposal Dana Pembangunan kelurahan (DPK). Yang lolospun baru 12 kelurahan dan ada 39 kelurahan yang harus dikoreksi sebab banyak diketemukan proposal kegiatan tak sama dengan berita acara Musrenbang. Pemerintah Kota sendiri tidak menjadikan DPK menjadi aktivitas penting karena 2 hal, pertama anggarannya sangat kecil yakni kurang dari 1 persen APBD (0,75) dan kedua implementasi DPK dianggap bukan aktivitas penggerak atau peningkat kesejahteraan warga.

Pada kegiatan pelaksanaan seringkali cuma diisi dengan bagito alias bagi rata DPK baik untuk kelembagaan seperti LPMK, PKK, KTI, RW, RT dan berbagai lembaga lain maupun operasional kegiatan rutin seperti Posyandu, TPA/TPQ, Koperasi, GSI dan lain sebagainya. Tidak ada kreativitas, inovasi maupun terobosan yang lebih fokus agar DPK memberi efek signifikan bagi masyarakat.

Demikian pula pelaporan kegiatan yang meliputi monitoring, evaluasi maupun penilaian Pemkot atas penggunaan anggaran. Pembentukan Tim Monev tidak memberi nilai tambah yang penting meski sudah dilatih dan dibekali tools untuk melakukan monitoring. Pun demikian bagi kelurahan yang implementasi DPK bagus, tidak ada reward yang diberikan. Bila hal ini dibiarkan, buat apa ada Musrenbang dan DPK? Lebih baik program dikerjakan SKPD seperti jaman orde baru saja.

0 komentar:

Posting Komentar