Perencanaan Partisipatif di Kota Solo kini sudah memasuki tahapan ke 12 atau lebih dari 10 tahun berjalan. Berbagai dinamika perkembangan masyarakat di level kelurahan dalam merencanakan program memang patut diapresiasi. Termasuk juga tingkat konsistensi Pemkot Surakarta dalam menjaga program ini pantas diacungi jempol. Faktanya bisa dilihat dalam sudut-sudut kota terutama kondisi jalan kampung yang jarang ditemukan kerusakan.
Sayangnya 3 tahun terakhir terlihat proses perencanaan yang dikemas dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) memasuki fase kritis. Di media massa juga banyak diungkap "kejenuhan" masyarakat mengikuti ajang ini. Ada banyak catatan yang perlu dibuat kenapa tingkat partisipasi merosot termasuk semangat masyarakat sehingga tidak sedikit yang menganggap Musrenbang sebagai seremoni belaka. Beberapa kelurahan bahkan menyelenggarakan Musrenbang sebagai ajang menggugurkan kewajiban saja.
Meski demikian, Bapeda Surakarta belum melakukan terobosan agar kendala serta semangat masyarakat meningkat kembali. Ada banyak analisis tentang penyebab menurunnya partisipasi. Salah satunya adalah alokasi Dana Pembangunan Kelurahan (DPK) yang jumlahnya relatif kecil. Bahkan pada Tahun 2010, alokasi DPK yang diperuntukkan bagi 51 kelurahan justru diturunkan dari Rp 10 M menjadi Rp 9 M meski APBD tiap tahun meningkat. Akibatnya berbagai program yang direncanakan melalui Musrenbangkel tidak bisa terlaksana secara utuh.
Pada Tahun 2001, tiap kelurahan mendapat alokasi DPK (saat itu bernama blockgrant) sama rata yakni Rp 50 juta. Kemudian mulai tahun 2002 mulai dibedakan dengan adanya indikator yang ditetapkan. Hal ini untuk mengakomodasi kebutuhan serta problematika tiap kelurahan yang beragam. Alokasi DPK sebesar Rp 6,3 M dibagikan tahun 2002. Kemudian pada Tahun Anggaran 2003 - 2005, Pemkot Surakarta menaikkan alokasi menjadi Rp 7 M. Tahun 2006 - 2009, merupakan alokasi DPK tertinggi dalam kurun 10 tahun terakhir yakni Rp 10 M.
Sayangnya Pemkot mengurangi alokasi menjadi Rp 9 M sejak tahun 2010 hingga sekarang. Padahal disisi lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun APBD terus meningkat. Akibatnya proporsi DPK mengelami penurunan. Bila Tahun 2002 prosentase DPK atas PAD mencapai 14,15 persen, tahun berikutnya bergerak menurun kecuali Tahun 2009 yang mencapai 14,47 persen. Setelah itu prosentase DPK tak mencapai 10 persen (7,49 persen di Tahun 2010 dan tinggal 4,74 persen di Tahun 2012).
Fakta dilapangan, tidak sedikit program itu berdampak signifikan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Lihat saja alokasi untuk anggaran PMTAS pada posyandu, tambahan modal koperasi, bantuan pembelian peralatan sekolah dan lain sebagainya. Dan pengelolaan DPK hingga 10 tahun relatif tanpa disalahgunakan sebab belum pernah ada pengelola DPK berurusan dengan hukum. Walaupun memang masih ada peruntukan yang kurang tepat misalnya untuk bangun gapura, pembelian bolo pecah atau peralatan yang tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraan.
Bila melihat besaran DPK dibandingkan dengan APBD akan jauh lebih kecil lagi. Sejak diluncurkan program ini, alokasi DPK tak pernah berada diangka 3 persen. Bahkan hanya 2 tahun berada di prosentase 2 sedangkan tahun lainnya hanya kisaran 1 persen lebih. Pada Tahun 2002, prosentase DPK atas APBD mencapai 2,43 persen saja. Tahun 2012 ini bahkan titik terendah proporsi DPK atas APBD yakni 0,75 persen.
Walikota sebaiknya segera merumuskan dan menambah besaran alokasi DPK apalagi pemerintah berencana menaikkan harga BBM pada bulan April nanti. Bila tidak, maka akan muncul kekhawatiran tingkat partisipasi maupun swadaya masyarakat jauh lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. Apakah APBD memang hanya diperuntukkan bagi SKPD saja. Belum lagi ada beberapa SKPD yang programnya bermasalah seperti pembuatan taman oleh DKP, rencana pengadaan seragam RT/RW, pembelian mobil dinas pejabat dan program tak jelas lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar