Senin, 17 Oktober 2011

Moratorium PNS Bukan Solusi Efisiensi Anggaran

Membengkaknya jumlah Pegawai Negeri Sipil memberi konsekuensi pada penyediaan anggaran yang cukup besar secara rutin. Kondisi ini nampaknya tidak hanya dialami oleh pemerintah pusat namun juga daerah. Belum lagi kritikan kinerja birokrasi masih menghiasi media massa baik lokal maupun media nasional. Problem lainnya adalah tingkat korupsi yang dilakukan pejabat secara kuantitas pelaku memang tidak seberapa namun kualitas atau nominalnya cukup besar. Lihat saja kasus yang membelit Sesmenpora ataupun yang terjadi di Kemenakertrans.

Padahal jumlah penduduk miskin yang harus dientaskan jumlahnya mencapai jutaan. Selain jumlah pegawai yang tiap tahun pertambahannya lebih banyak dibanding yang pensiun juga dipengaruhi faktor perbaikan kesejahteraan yang mengakibatkan anggaran negara lebih banyak teralokasikan untuk birokrasi (baca Beban gaji pegawai). Maka dari itu, setelah berbagai media, pemerhati serta berbagai macam organisasi masyarakat menyuarakan keprihatinan ini, pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan moratorium penerimaan pegawai baru.

Aktivitas PNS jelang perayaan 17 Agustus
 Moratorium ini tidak berlaku bagi pengadaan tenaga kependidikan, tenaga kesehatan ataupun tenaga teknis lainnya yang memang dibutuhkan sebuah daerah. Sayangnya pengambilan kebijakan moratorium ini tidak disertai sebuah argumentasi atau studi kuantitatif kenapa kebijakan ini diambil. Persoalan pembengkakan anggaran sebenarnya tidak hanya karena jumlah namun hal-hal lain yang memang selama ini tidak berlaku efektif serta efisien. Tidak ada daerah yang melakukan kajian secara mendalam berapa sebenarnya pegawai yang dibutuhkan disebuah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

Di beberapa kabupaten/kota eks karesidenan Surakarta, sejak Tahun 2010 anggaran Dana Alokasi Umum bahkan sudah tidak mencukupi untuk Belanja Pegawai sehingga harus mengambil dari alokasi lainnya untuk menutupi kekurangan (Lihat Gaji pegawai kuras DAU). Akibatnya alokasi Belanja Modal serta Belanja Barang dan Jasa secara prosentase terus menurun atau mengecil. Imbasnya masyarakat kian tak bisa menikmati hasil pajak atau retribusi yang mereka bayarkan pada negara. Hal ini sungguh sangat tragis sebab tarif pajak dan retribusi juga ikutan naik sementara dampaknya tidak mereka rasakan.

Ada dua hal utama bagi pemerintah untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan kinerja birokrasi. Pertama pengaturan untuk mengurangi beban anggaran yang dialokasikan pada gaji pegawai dan kedua adalah optimalisasi kinerja birokrasi. Dua hal utama ini penting dilakukan supaya pengetatan anggaran tidak mengganggu kinerja birokrasi dan optimalisasi kinerja birokrasi tidak membengkakkan anggaran. Kajian mendalam atas dua hal ini diperlukan dengan tujuan masyarakat tidak dirugikan dengan berbagai pajak atau retribusi yang dikenakan pada mereka.

Salah satu cara untuk mengurangi beban anggaran yakni dengan memutus rantai belanja pensiun. Terapkan saja pola pesangon seperti di BUMN sehingga anggaran negara tidak terus menerus membayar pegawai yang sudah tidak mengabdi lagi. Beban pembayaran pensiun ini cukup besar apalagi jika masa usia hidup pegawai ataupun pasangannya masih lama. Belum lagi penyesuaian atas kenaikan gaji pensiunan. Keputusan ini tentu akan menimbulkan penolakan keras karena akan banyak pegawai tidak setuju atas kebijakan ini. Pemerintah harus berani mengambil konsekuensinya.

Masih efektifkah rapat koordinasi diikuti ratusan peserta?
Sedangkan untuk optimalisasi kinerja birokrasi perlu diambil 4 langkah yakni analisa beban kerja, analisa tupoksi, analisa beban SKPD dan pemberian reward and punishment bagi daerah. Untuk langkah analisa beban kerja, yaitu dimana seorang pegawai sebelum diangkat menduduki jabatan atau hanya staff disebuah SKPD dibedah kemampuannya. Seberapa besar dia bisa mendukung kinerja atasannya. Bila memang hanya dibutuhkan 1 orang ya tidak perlu diangkat lagi staff yang lain. Mestinya bisa dicari formula atau rumusan yang jelas menganalisis kapasitas seseorang.

Langkah analisis tupoksi yaitu sebuah analisa untuk beberapa staff yang tergabung dalam satu sub bidang atau sub seksi untuk menjalankan beban kerja. Jika memang mumpuni dengan hanya 3 orang, tak perlu lagi menambah staff lain. Analisa Tupoksi diberlakukan untuk mengkaji kapasitas tim dalam sebuah SKPD untuk menjalankan Renstra. Dan analisa beban kerja adalah analisa dari beban SKPD untuk menyelesaikan tugas sesuai diamanatkan sebuah Perda. Maka berbagai analisa tadi sangat berhubungan dan Pemda tidak lagi asal-asalan mengajukan formasi kebutuhan pegawai namun juga menyertakan analisa beban kerja, analisa tupoksi dan analisa beban SKPD.

Sementara reward dan punishment merupakan "hadiah" atau "hukuman" bagi daerah bersangkutan yang bisa berupa penghargaan penambahan DAU, DAK atau bentuk lainnya. Menerapkan pola ini memang tidak mudah karena birokrasi kita tidak terbiasa melakukan analisis. Komitmen tinggi kepala daerah juga memegang peranan penting untuk membiasakan para bawahannya untuk melakukan kajian. Jaman sudah semodern sekarang namun masih banyak birokrasi yang bekerja seenaknya meski gaji dan fasilitas sudah terpenuhi.

0 komentar:

Posting Komentar