Kamis, 06 Oktober 2011

Kajian Pendapatan Daerah Boyolali 2007 - 2011

Boyolali dikenal sebagai Kota Susu yang memang dijadikan andalan bagi peternak sapi untuk menghidupi keluarganya. Tidak hanya susu namun juga sektor pertanian seperti padi, tembakau, sayuran juga dengan mudah kita akses disana. Meski demikian, ternyata dalam kurun waktu 5 tahun pendapatan daerah (APBD) Boyolali antara Tahun 2007 hingga 2011 justru mengalami penurunan drastis. Memang kadang mengalami kenaikan tetapi tidak cukup signifikan bagi pemasukan daerah.

Dari tiga item pendapatan yaitu Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan serta Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah tentu andalan terbesar di pendapatan Dana Perimbangan. Dana ini didapat dari pemerintah pusat sesuai aturan dan rumusan yang disebut dalam UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah beserta turunannya. Kondisi ini tidak hanya dialami Kabupaten Boyolali namun juga mayoritas pemerintah daerah di Indonesia.

Pada Pendapatan Asli Daerah pemasukan terbesar dari Retribusi Daerah yakni 63,24 persen (tahun 2007) atau senilai Rp 27 M namun kemudian berangsur menurun pada Tahun 2011 tinggal 21,11 persen saja (Rp 17 M). Meski secara nominal setoran PAD kepada Pendapatan Daerah naik tetapi prosentase pada tahun 2011 lebih rendah dari tahun 2010. Turunnya prosentase dipengaruhi terus meningkatnya pendapatan dari Dana Perimbangan yang dihitung dari (salah satunya) kenaikan gaji pegawai.


Dana Perimbangan Boyolali pada Tahun 2007 sebesar Rp 585 M (89,77 persen Pendapatan), naik menjadi Rp 653 M (87,64 persen) pada Tahun 2008, meningkat menjadi Rp 687 M (83 persen/2009), turun hingga tinggal Rp 682 M (74.76 persen/2010) dan tahun ini (2011) mencapai Rp 751 M (72,31 persen). Dalam tabel bisa kita lihat, mayoritas diberi oleh Dana Alokasi Umum yang bila diprosentase selama kurun waktu tersebut selalu diatas 85 persen. Bahkan Tahun 2007, kontribusi DAU tingginya 90,31 persen.

Setoran yang konsisten naik yaitu pada Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah meski prosentase pada total pendapatan hingga 2011 tak lebih dari 20 persen. Pada Tahun 2007, tercatat hanya Rp 23 M (3,60 persen dari pendapatan). Naik menjadi 5,14 persen atau Rp 38 M di Tahun 2008, kemudian menyentuh angka Rp 68 M (8,29 persen) Tahun 2009. Tahun 2010 terjadi lonjakan tajam baik secara nominal (Rp 150 M) maupun prosentase (16,47 persen). Tahun ini menembus jumlah Rp 206 M atau 19,85 persen.

Melihat kondisi diatas, mestinya Bupati Boyolali Seno Samudro harus mengambil langkah strategis agar tingkat ketergantungan keuangan daerah pada Dana Perimbangan bisa dikurangi. Tentunya dengan berbagai potensi yang dimiliki, Boyolali mampu mewujudkan hal itu. Apalagi jika melihat turunnya pemasukan dari retribusi daerah. Berarti ada yang salah dalam kebijakan atau pelaksanaannya. Dalam mengkaji permasalahan pendapatan jangan terburu-buru membuat kebijakan menaikkan atau menambah jenis retribusi.

Menaikkan atau menambah jenis retribusi/pajak memang jalan pintas yang mudah dilakukan dibanding jalan lain yang sebenarnya lebih strategis. Misalnya intensifikasi pendapatan daerah sebagai Salah Satu Cara Menaikkan Pendapatan Daerah. Seringkali intensifikasi ini difahami keliru yaitu menaikkan tarif yang akan menambah beban berat masyarakat. Padahal tidak selalu intensifikasi berupa menaikkan tarif namun juga pola pengelolaan pendapatan daerah.

0 komentar:

Posting Komentar