Sejak diberlakukannya sertifikasi bagi guru, biaya yang dikeluarkan negara untuk memenuhi kewajiban bertambah besar. Apalagi setiap tahun makin bertambah guru yang lolos uji sertifikasi. Hal ini untuk mencapai tujuan besar meningkatkan daya saing pendidikan kita yang (dianggap) tertinggal oleh negara lain. Padahal untuk membiayai operasional sekolah, infrastruktur, menejemen sekolah, menejemen pendidik juga sudah membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.
Menurut data Kemdikbud (sebelumnya bernama Kemendiknas, hingga tahun 2009 sudah ada 550ribu guru yang lolos sertifikasi dan menerima SK. Padahal jumlah guru yang berada dalam binaan Kemdikbud sebanyak 2.607.311 pada tahun 2010. Jika dibandingkan dengan saat ini tentu jumlahnya sudah bertambah lebih banyak. Apalagi pemberian sertifikasi tidak hanya pada guru negeri tetapi juga guru swasta dengan beberapa ketentuan atau syarat yang telah diatur.
Dengan adanya sistem sertifikasi tersebut setidaknya guru menerima tambahan dari sertifikasi sebesar 1 bulan gaji.Penerimaan itu tidak otomatis disebut besar atau kecil namun tergantung tempat tingga guru bersangkutan. Untuk guru yang tinggal di wilayah Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Timur, Banten dan Jawa Barat, gaji guru saat ini sangat besar. Namun bagi pengajar yang tinggal di Sulawesi, Kalimantan apalagi pedalaman Papua pasti tidak sama. Sebab faktor-faktor lain turut mempengaruhi harga barang sehingga para guru yang tinggal dipedalaman memang masih berhak menerima tunjangan daerah terpencil.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada Tahun 2010 menganggarkan Rp 14 Trilyun guna membayar gaji guru dari jenjang TK hingga SMA plus sertifikasinya. Diperkirakan jumlah itu akan terus meningkat seiring peningkatan gaji pegawai yang rutin dinaikkan tiap tahun. Tahun depan (2012) diprediksikan butuh anggaran lebih dari dua kali lipat tahun 2010 atau Rp 33,9 T. Anggaran yang luar biasa besar dan fantastis bila dibandingkan dengan program-program lainnya.
Tetapi apakah dengan sertifikasi guru, kualitas pendidikan kita bertambah baik? Apa indikator yang bisa diterapkan untuk menilai hal ini? Tentunya bukan dari jumlah medali pada setiap lomba olimpiade tingkat nasional, jumlah siswa lulus UN apalagi jumlah siswa yang melanjutkan sekolah. Seperti banyak diketahui, meski sudah ada PP yang mengatur tentang Standar Pendidikan Nasional, kenyataanya di berbagai pelosok tanah air masih banyak ditemukan ruang kelas rusak, anak usia sekolah tapi tidak bersekolah, guru mencari obyekan dan lain sebagainya.
Mendiskusikan pendidikan di Indonesia memang seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami, tak pernah menemukan sumber masalah pokok untuk dipecahkan. Sistem mengajarpun masih model satu arah dan kurang menghargai pendapat siswa didik. Jangankan di tingkat dasar atau menengah, di perguruan tinggi yang sistem kebebasan berpendapat jauh lebih maju saja sulit kita temukan diskusi-diskusi menarik baik di dalam kelas ataupun lingkungan kampus.
Harus ada perubahan fundamental dalam sistem belajar mengajar di Indonesia. Bila masih menggunakan komunikasi satu arah, anak tak akan terbiasa mengemukakan argumentasi, berpikir logis dan rasiobal, mendengarkan pendapat orang lain atau mengakui kebenaran pendapat orang. Negara sampai saat ini abai dalam mendorong atau membangun sekolah yang dialogis. Maka dari itu jangan heran bila ada lulusan dari perguruan tinggi tidak bisa berdebat, ngeyel, tidak menghargai pendapat orang atau bahkan lebih sering menggunakan kata "Pokoke".
0 komentar:
Posting Komentar