Tampil 2 kali melawan Iran (tandang) dan Bahrain (kandang), Indonesia kebobolan 5 gol dan tak berhasil menceploskan 1 gol pun ke gawang lawan. Bandingkan dengan saat Piala AFF yang saat penyisihan mampu menyarangkan 13 gol dan kebobolan 2 gol dengan hanya memainkan 3 pertandingan saja. Bahkan posisi runner up didapat dari total 1 kali kekalahan melawan Malaysia saat tandang dengan skor 3-1. Artinya total, Indonesia memenangkan 6 dari 7 pertandingan.
Kisruh kepemimpinan PSSI rupanya berimbas pada Timnas saat ini yang dilatih oleh Wim Rijsbergen. Punggawa PSSI terlihat bermain paling buruk saat dikalahkan oleh Bahrain. Lihat saja prestasi mereka ketika ditangani pelatih asal Belanda itu. Awalnya mampu menang 4-1 atas Palestina di Indonesia, imbang 1-1 lawan Timnas Usia 23 dan kalah 0-1 ketika bermain di saat ujicoba dengan Jordania dan beruntun di ajang resmi kalah dari Iran 3-0 dan Bahrain 2-0.
Sebenarnya bukan soal kalah menang atau jumlah gol namun bila dicermati pola permainan saat Palestina hingga Bahrain semakin amburadul. Tidak terlihat makin kompak, padu dan pola permainan bisa dinikmati. Yang paling susah dipahami adalah saat laga terakhir yang semakin terlihat bahwa mereka (PSSI) tidak memperlihatkan skema permainan yang padu. Disisi lain, selama pertandingan pelatih sibuk dengan ballpoint dan blocknotenya bukan memberi instruksi.
Jelang pertandingan Semifinal Piala AFF melawan Philipina |
Bandingkan dengan Persipura ketika melakoni Liga Champions Asia yang sudah memasuki babak perempat final. Semestinya alasan kemungkinan kekalahan diatas juga mereka fahami namun kenyataan dilapangan sangat jauh berbeda. Bertanding melawan Arbil Irak, tinggi badan, pengalaman, peringkat, tenaga tidak menjadi gap bahkan Persipura bermain taktis. Sekali lagi bukan soal menang kalah namun permainan yang disuguhkan sangat menawan.
Persoalan utama Timnas saat ini menurut saya yang utama adalah mentalitas. Saat ditangani Alfred Riedl di piala AFF terlihat semangat tanding yang luar biasa. Kerjasama dan teknik individu menonjol terlihat bahkan saat membantai Philipina yang mayoritas berisi pemain naturalisasi dari kawasan Eropa. Toh tinggi badan, kecepatan, pengalaman tentu kita tidak ada apa-apanya. Sayangnya, jelang pertandingan melawan Qatar, justru konflik internal malah mendominasi suasana tim.
PSSI harus turun tangan agar kondisi ini tidak berlarut-larut. Tugas Riedl sebenarnya jauh lebih berat karena waktu kumpul pemain Timnas mepet, kompetisi LSI masih berjalan, pemain LPI tidak bisa disertakan. Patut diingat juga, Boaz Solossa juga dicoret dari tim serta pemain senior Bambang Pamungkas sering hanya duduk di bangku cadangan. Tetapi penampilan Timnas sangat layak disebut sebagai duta bangsa yang menjanjikan. Permainan itulah yang saat ini tidak terlihat.
0 komentar:
Posting Komentar