Senin, 12 September 2011

Layat Harus Naik Mobil

Menengok orang sakit tentu sudah menjadi budaya dalam tradisi masyarakat di Indonesia. Tidak hanya sekedar sebagai sikap keprihatinan namun juga membangun interaksi sosial. Kini budaya itu kian terkikis hingga secara individu, orang tak tertarik lagi dengan tengok menengok orang sakit. Di Kampung Tanya, menengok orang sakit tarifnya sudah ditentukan dan dibayar oleh iuran. Kalau secara individu mau menambahkan ya tentu tidak dilarang.

Untuk soal menjenguk orang sakit, di kampung ini ada 2 orang yang terkenal agak repot. Entah repot fisik, materi ataupun repot hati. Repot fisik itu ya dimaknai dengan tidak bisa ikut menjenguk, datang atau bahkan mendoakan si sakit supaya sembuh. Repot materi itu selain patungan tambahan juga mengeluarkan kendaraan untuk berangkat ke rumah si sakit dan repot hati adalah tidak ikhlas bila tetangga mereka nengok atau si sakit ditengokin.

Kedua orang itu yakni pak Kabar dan pak Ren. Pak kabar ini memang dikenal paling irit dalam soal apapun. Jangankan menengok orang sakit, ikut pertemuan rutin saja juga suka milih. Kalau yang ketempatan orang mampu maka dia meluncur dan bila penyelenggara orang biasa saja, jangan harap batang hidungnya kelihatan. Sedangkan pak Ren selain tak mau patungan, mengeluarkan kendaraan juga merupakan beban tersendiri. Ada banyak cerita soal mereka berdua ini.

Terakhir pada malam Jum'at lalu ketika layat simbah dari pak Untung, pak kabar beralasan tidak bisa ikut kalau tak naik mobil. Pak Ren juga awalnya tak ikut namun karena pak Yota bawa mobil maka segera bergabung. Ketika diajak patungan, rupanya tak menolak karena ternyata dia menduga yang meninggal adalah ibu dari pak Untung. Di perjalanan, pak Ren terus saja nerocos siapa yang meninggal. Apakah orang tua atau simbah dari pak Untung.

Sewaktu sampai di lokasi, kecutlah muka pak ren karena yang wafat memang simbah dari pak Untung. Padahal pak Ardi yang awalnya tidak mau ikut karena sedang tidak enak badan akhirnya gabung juga begitu tahu pak Yota mengeluarkan roda empat. Sementara itu pak Wijo meski sendirian naik motor (karena mobil sudah penuh) tetap hadir. Pak Wijo ini cukup arif menyikapi berbagai persoalan di kampung Tanya. Dia sendiri pernah menjadi Ketua RT dan kepemimpinannya bisa dinilai berhasil.

Dimanakah pak Sari sebagai Ketua RT malam itu? Ternyata dari bapak-bapak yang berangkat takziah, tak ada satupun yang mau menghubungi dan mengajak melayat. Padahal pak Sari bisa dan pasti membawa mobilnya untuk jalan. Pak Yota sebagai bendahara juga hanya bertanya didalam mobil jelang berangkat dan tidak mau menelpon sendiri. Rupanya para bapak itu faham bahwa Ketua RT tidak cukup mendapat hati sehingga tak melibatkan dia pun, warga tak masalah. Tidak dianggap.

Bahkan saat sampai di lokasi takziah, pak Muhammad sempat menanyakan pada pak Untung apakah pak Sari diberitahu? dijawab tidak. Dia juga tak menyangka bila yang melayat cukup banyak soalnya dia hanya sms ke 4 orang saja. Itupun ditambahi embel-embel untuk orang-orang dekat saja. Kalau begitu, masih adakah kebanggaan bagi pak Sari atas posisinya? Kasihan juga kalau dia tidak faham dan tak merasakan bahwa warga kampung Tanya tak menganggapnya sebagai Ketua RT.

0 komentar:

Posting Komentar