Kamis, 22 September 2011

Keamanan Dana di Bank Perlu Ditata

Disadari atau tidak, kondisi masyarakat saat ini lebih banyak mengagungkan materi alias harta benda. Tidak saja pejabat yang memegang kekuasaan (di pemerintahan), partai politik, makelar kasus dan lain sebagainya tetapi kini sudah merambat ke masyarakat umum. Meski kondisi negara sedang terpuruk, tak banyak yang peduli dan tidak sedikit yang punya keprihatinan lebih untuk memberikan kontribusi nyata bagi negara. Justru yang terjadi sebaliknya, apa yang bisa didapat dari negara.

Banyak kasus penyelewengan uang negara mulai dari kasus nasional hingga kasus lokal. Sebut saja kasus suap kemenpora dan kemenakertrans yang sedang hangat diberitakan media. Pengusaha mau saja membayar berapapun asal proyek sudah pasti ditangan. Jumlah fee diluar harga pasaran juga tak dipedulikan lagi yang penting didapat. Akibatnya banyak kegiatan yang dibiayai negara hasilnya tidak optimal dan terkesan sejadinya saja.

Sikap masyarakat yang lebih menghargai orang atau individu dari kekayaan yang dimiliki dibanding dengan perilaku telah menggeser pola pikir tiap diri kita. Apa yang harus dilakukan agar kaya dan bukannya apa yang perlu diucapkan dan dibuktikan supaya masyarakat menghargai kita. Disadari atau tidak, itulah yang terjadi. Masyarakat berlomba-lomba menumpuk kekayaan berupa uang, deposito, tanah, perhiasan dan berbagai bentuk lainnya.

Mudah menemui lembaga Perbankan dimanapun (Ilustrasi)
Tidak sedikit kemudian yang memanfaatkan posisinya untuk bekerja secara tidak benar. Hal ini timbul karena dorongan yang tidak disadari secara murni meski para pelaku ini sadar bahwa tindakannya menyalahi hukum. Salah satu tindakan yang kini juga marak adalah pegawai bank membobol dana milik nasabah. Mereka tentu tahu bahwa tindakannya mudah diketahui dan akan terkena sanksi tetapi karena tuntutan "penghargaan" lingkungan maka kesadaran diri sepertinya tertutupi.

Uang yang diembat juga tidak tanggung-tanggung nilainya. Tidak hanya puluhan atau ratusan juta namun mencapai miliaran rupiah. Sebut saja pembobolan BRI Thamrin Square Rp 29 M, Bank BII KC Pangeran Jayakarta Rp 3,6 M, Bank Mandiri  18 M, BNI Cabang Depok serta di Citibank senilai Rp 4,5 M yang melibatkan tersangka Malinda Dee. Di Jawa Tengah juga muncul kasus yaitu di Bank Jateng Syariah melalui kredit fiktif Rp 94 M.

Bank Jateng Cabang Semarang mengalami hal serupa, jebol Rp 18 M oleh Mantan Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dengan modus pemalsuan dokumen untuk pencairan kredit. Yang baru saja menggemparkan ada di Kabupaten Karanganyar dan menimpa BPR Trihasta Prasodjo senilai Rp 2,65 M. Walaupun bukan kategori pembobolan bank tetapi setidaknya terjadi penipuan atas setoran nasabah yang dilakukan oleh Auditor Internal bernama Muhtadi.

Beberapa kejadian diatas semakin menunjukkan sinyalemen perilaku masyarakat yang memegang kewenangan justru menyalahgunakan kewenangan tersebut. Hal ini harus segera diatasi supaya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan tidak turun yang bisa mempengaruhi perekonomian Indonesia. Nampaknya krisis di Indonesia telah merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat. Bila krisis masih saja terjadi, kapan Indonesia bisa bangkit?

0 komentar:

Posting Komentar