Senin, 08 Agustus 2011

Belanja Pegawai Boyolali Makin Tinggi

Dalam menjalankan roda pemerintahan, tentu faktor sumber daya manusia menjadi titik penting karena disini letar motor penggerak baik tidaknya pelayanan yang diberikan. Mengelola birokrasi tidak seperti mengelola karyawan diperusahaan yang relatif lebih bisa diandalkan. Banyak faktor yang melingkupi tidak mudahnya memanajemen "karyawan pemerintah" ini. Tidak hanya dalam kuantitas tapi kualitas juga masih banyak pihak yang mempertanyakan. Apalagi output kerja mereka lebih pada pelayanan yang tolok ukurnya "agak" subyektif.

Pola perekrutan, karier, pembinaan, peningkatan kualitas birokrasi di pemerintah daerah sering menjadi penyebab kenapa kualitas mereka banyak dipertanyakan. Kali ini kita tidak akan membedah beberapa persoalan diatas namun mengupas berapa banyak alokasi anggaran untuk mereka. Penting sebenarnya melihat alokasi gaji pegawai di sebuah daerah karena memang alokasi anggaran daerah tidak hanya diperuntukkan bagi pegawai namun juga alokasi untuk publik seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sebagainya.

Selain itu juga masih ada peruntukan bagi pembangunan fisik, bantuan sosial, hibah dan masih banyak lagi. Dalam PP No 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah penjelasan pasal 27 ayat (27) huruf a disebutkan bahwa belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD, dan pegawai pemerintah daerah baik yang bertugas didalam maupun diluar daerah sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Contoh gaji dan tunjangan, honorarium, lembur, kontribusi sosial dan lain-lain sejenis. 

Faktanya alokasi belanja pegawai di Kabupaten Boyolali justru menjadi faktor yang membebani anggaran. Disisi lain dengan kondisi geografis Boyolali masih membutuhkan banyak anggaran untuk mengkondisikan daerahnya menjadi lebih baik. Sebut saja sektor perkebunan, pertanian, pendidikan apalagi infrastruktur. Berdasarkan kajian APBD 2007-2011 terlihat bahwa alokasi anggaran untuk belanja pegawai semakin tahun semakin besar bahkan alokasi DAU yang diperuntukkan bagi belanja pegawai tak mencukupi. 

Tahun 2007 belanja pegawai baru Rp 380 M atau 54 persen dari total kebutuhan belanja. Meningkat secara signifikan menjadi 64 persen atau Rp 506 M pada tahun 2008, kemudian menjadi 65 persen (Rp 579 M) tahun 2009 dan kembali naik menjadi Rp 679 M (70 persen) tahun lalu dan tahun ini kembali mendongkrak jumlah prosentase atas total belanja menjadi 66 persen atau Rp 728 M. Yang perlu difahami, tiap tahun alokasi belanja terus meningkat sehingga idealnya meski belanja pegawai naik tetapi prosentase semestinya tetap atau kalau toh pun meningkat prosentase akan stagnan atau naik dalam kisaran 1-5 persen.

Kecamatan Ampel salah satu wilayah dengan unggulan pertanian
Bila kenaikan APBD diikuti dengan kenaikan prosentase belanja pegawai artinya mayoritas belanja pegawai percepatan kenaikannya mengalahkan kenaikan alokasi belanja lainnya (baca : belanja publik). Jika seperti itu, patut disayangkan pidato pengantar nota keuangan kepala daerah yang selalu memuji keberhasilannya mampu mendongkrak APBD terutama pada sektor pendapatan. Sayangnya kepala daerah sering tidak menjelaskan 2 hal yakni kenaikan pendapatan lebih pada pendapatan dari dana perimbangan serta alokasi terbesar APBD untuk belanja pegawai. 

Legislatif pun latah dengan banyak menyampaikan ke publik atas keberhasilan kenaikan APBD dari pada peruntukan alokasinya. Lantas bila DAU selama ini banyak digunakan untuk belanja pegawai, berapa prosentase belanja pegawai atas DAU di Boyolali? Pada tahun 2007 alokasi belanja pegawai sudah mencapai 71,9 persen. Tentu saja tahun 2008 naik menjadi 88 persen dan tahun 2009 menjadi 98 persen dari DAU. Puncaknya pada tahun 2010 belanja pegawai sudah tak cukup ditutup dari DAU karena sudah 115 persen meski di 2011 turun di 113 persen. 

Siapapun tahu bahwa tiap tahun ada kenaikan gaji birokrasi namun tak selayaknya kenaikan itu ditanggung langsung oleh masyarakat. Harusnya kenaikan itu ditutup dengan alokasi anggaran dari pusat sehingga dana pembangunan daerah tidak diperuntukkan bagi belanja pegawai. Masih banyak pos yang sebenarnya bisa di efisiensi agar belanja bagi birokrasi tidak bertambah besar. Siapapun tahu bahwa birokrasi mendapat anggaran tidak hanya dari belanja pegawai namun juga dari alokasi belanja lainnya.

 

0 komentar:

Posting Komentar