Belajar Dari Timnas Sepakbola Indonesia Pada Piala AFF 2010
Prestasi Tim Nasional Indonesia yang melaju ke Final Piala Asean Football Federation (AFF) 2010 yang mengalahkan lawannya dengan skor cukup meyakinkan mampu menjadi atmosfir baru di Negara berpenduduk 230 juta jiwa ini. Biasanya tak ada hiruk pikuk seramai ini, tak ada liputan seheboh sekarang ataupun menyeret banyak pihak untuk berkomentar. Namun saat ini banyak dirasakan disetiap ruang public hampir pembicaraan masyarakat masih saja seputar bola. Meski harga cabai naik tinggi, gaji PNS bertambah maupun sidang-sidang kasus korupsi masih digelar, tetap saja kalah ekspos dengan sepak bola. Masyarakat Indonesia yang memang gandrung bola sudah tak sabar menanti penantian panjang mereka.
Dalam catatan prestasi sepakbola Indonesia, terakhir mengukir sejarah yaitu tahun 1991 pada saat Sea Games. Sembilan belas tahun sudah Timnas Indonesia tak pernah minum pelepas dahaga kejuaraan resmi bahkan pada Sea Games 2009, Indonesia tak berani menurunkan skuadnya. Kenyataan ini diperparah oleh pengelolaan kompetisi dalam negeri yang karut marut dan amburadul. Lempar botol, petasan, pemukulan wasit, perkelahian antar pemain bahkan rusuh supporter selalu ada dalam tiap musim kompetisi. Dalam babak penyisihan Piala AFF kali ini, skor telak mampu ditorehkan oleh Timnas yang berisi pasukan muda dan senior.
Tidak hanya Malaysia yang dibabak penyisihan dibantai 5-1 namun hingga Philipina yang berisi pemain-pemain eropa tak mampu membendung kekuatan Indonesia. Kiper no 4 klub liga Inggris Fulham dibuat tak berdaya oleh Cristian “El Loco” Gonzales. Hal inilah yang membuat hysteria masyarakat Indonesia melupakan beban kehidupan mereka sehari-hari. Berita media massa baik cetak ataupun elektronik dihiasi oleh liputan sepak bola. Seakan-akan Piala AFF ini merupakan piala dunia yang membuat Indonesia terkenal seantero jagad raya. Padahal levelnya masih Asia Tenggara dan belum ada apa-apanya. Menjejak final Piala AFF pun sudah pernah terjadi hingga 3 kali (dulu bernama Piala Tiger).
Seharusnya semua pihak menyadari bahwa prestasi ini patut dihargai bukan di eksploitasi. Bayangkan hampir semua pemain Indonesia ditelanjangi habis-habisan seakan mereka harus terbuka pada masyarakat atas kehidupan mereka. Inilah yang diduga banyak pihak menyebabkan kekalahan telak atas Tim Harimau Malaya, Malaysia dengan skor 3-0. Ketertarikan ini tidak hanya dirasa dan menjadikan masyarakat menjadi ingin dekat namun media, komunitas agama hingga politikus ingin memanfaatkannya. Semua mendekat dan seakan-akan dianggap paling berjasa atas prestasi yang diraih Timnas. Masyarakat berjubel menyaksikan sessi latihan Timnas, pemain di foto, diwawancara, diminta berkomentar hingga di depan kamar mereka menginap.
Politikus memanfaatkannya dengan mengundang rombongan ke rumah salah satu ketua partai politik. Magnet yang luar biasa dan belum pernah dalam sejarahnya sepakbola dianggap sedemikian hebatnya. Menurut analisis salah satu tokoh (maaf saya lupa, kalau tak salah Effendi Ghozali), histeria menyatunya rakyat itu dapat timbul karena 3 hal yakni bencana alam, prestasi dan perang. Kalau perang, terbukti pemimpin kita takut menyatakannya, dan bencana alam sudah hampir menjadi menu tahunan bangsa ini. Sementara olahraga prestasi dan digandrungi masyarakat sudah lama tak hadir. Bulutangkis yang menjadi primadona Indonesia sudah lama tak meraih gelar bergengsi dengan sapu bersih. Jangankan ajang olimpiade, arena Sea Games saja sudah susah payah kita meraihnya.
Banyak pakar mengungkapkan rasa syukur patut dipanjatkan tapi tak seharus segemebyar sekarang ini. Kita tahu PSSI selaku otoritas sepakbola sudah lama tak becus mengurusi kompetisi regular, dana ratusan miliar dari APBN, sponsor maupun FIFA yang masuk ke PSSI tak pernah jelas digunakan untuk apa. Juara Liga Indonesia sering menerima hadiah yang melewati setengah tahun setelah angkat piala padahal pihak sponsor mengaku telah memberikan pada PSSI. Partai politik sendiri rupanya hobi memasukkan kadernya dalam kepengurusan sehingga ketika olahraga harus dikelola secara professional, tak terlihat. Lihat saja soal kepemimpinan wasit, sanksi yang diberikan ataupun level kompetisi untuk skala pemula, junior maupun senior tak karuan.
Para agamawanpun mau-maunya melibatkan diri dalam hiruk pikuk Piala AFF kali ini. Tawaran mengundang Timnas saat istighotsah tak mereka tampik meski berdoa itu penting namun harusnya tak mencampur adukkan antara olahraga dengan agama. Jadinya seperti sekarang ini. Sudah sejak lama masyarakat tidak diajarkan bertindak fair ketika tim kebanggaannya kalah sehingga di Final pertama Piala AFF saat dibekuk Malaysia 3-0 macam-macam komentarnya. Ada serbuk gatal, sinar laser, petasan dan seribu alasan lainnya. Yang menggelikan justru komentar itu muncul dari Ketua Umum PSSI.
Mestinya pengurus PSSI membiarkan Timnas diurus Manajer dan pelatihnya sedangkan mereka memberesi persiapan leg II di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Akibatnya soal tiket saja rusak dan runyam. Tidak hanya kehabisan tiket namun juga penipuan tiket yang nyata-nyata terjadi di penjualan tiket dalam stadion. Sungguh sangat memalukan dan tidak menunjukkan kemampuan manajerial yang baik. Tak heran seiring perjalanan Timnas di Piala AFF, ada juga yang menggalang dukungan menuntut Ketua Umum PSSI meletakkan jabatannya karena dianggap tak becus mengurus olahraga kebanggaan masyarakat.
Menciptakan atlet olahraga yang berprestasi baik level lokal, regional maupun internasional tak bisa dengan cara instan. Semuanya harus dibangun infrastruktur maupun manajemen secara profesional. Sudah jadi rahasia umum suap menyuap prestasi olahraga maupun orang yang akan jadi atlet profesional. Maka dari itu ciptakan sistem yang baik, berjenjang dan secara serius dikelola oleh orang-orang yang faham dalam manajemen keolahragaan. Manajemen tidak hanya orang yang memiliki kapasitas mengurus organisasi olahraga namun juga membuat seorang atlet mampu berpikir dan bertindak profesional atas profesi maupun menjadi kebanggaan negaranya
Pemerhati sepakbola lainnya juga mengecam terseretnya hysteria sepakbola oleh para politikus. Menurutnya para politikus hanya mengalihkan rasa frustasi mereka dalam bidang politik agar bisa merasa kesegaran kembali. Kalau politikus itu benar-benar tertarik, mestinya mereka mampu mendesak pemerintah untuk lebih berkonsentrasi membina sepakbola dari level pemula atau dasar. Komisi X yang membidangi olahraga seharusnya mampu mendesak Menpora untuk mengeluarkan kebijakan satu sekolah satu lapangan olahraga supaya masyarakat kita terbiasa “sehat”. Sudah terbukti wakil kita di Komisi X tak bernyali untuk bersuara lantang menyuarakan kepentingan masyarakat.
Lantas apa yang akan kita lakukan? Kita harus terima apapun hasil Final Leg II antara Indonesia vs Malaysia malam nanti. Disisi lain marilah kita semua mulai membangun keolahragaan kita tidak hanya fisiknya saja namun juga hati dan pikirannya. Ini penting agar olahragawan-olahragawan junior yang akan lahir mampu jadi olahragawan cerdas yang mampu mengembangkan diri secara optimal dan berusaha secara fair meraih kemenangan yang selalu terbuka. Untuk pemerintah, kalau tak bisa membenahi olahraga, sebaiknya memang tak usah turut campur. Biarkan masyarakat mengelola olahraga secara mandiri.
0 komentar:
Posting Komentar