Dalam design otonomi daerah seluruh perangkat daerah dimasukkan dalam satuan kerja perangkat daerah atau saat ini banyak dikenal dengan sebutan SKPD. Seluruh dinas disebuah Kota atau Kabupaten di golongkan dalam SKPD, BLU maupun BLUD termasuk didalamnya adalah kecamatan dan kelurahan. Yang perlu dicermati adalah berbeda dengan dinas daerah maupun lembaga teknis lainnya yakni kecamatan dan kelurahan merupakan institusi daerah yang berkaitan dengan territorial. Dalam PP No 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah pasal 1 ayat (9) diterjemahkan Perangkat daerah kabupaten/kota adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.
Otomatis bila institusi masuk dalam SKPD maka sesuai rujukan peraturan lain harus membuat Renstra dan Renja SKPD. Tugas membuat Renstra tercantum pada pasal 7 ayat (1) UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional serta pasal 151 ayat (1). Sementara turunan Renstra yakni Renja SKPD dimandatkan dalam UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional pasal 5 ayat (3) dan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 150 ayat (d).
Faktanya 6 tahun setelah kedua undang-undang itu diberlakukan, masih banyak kecamatan maupun kelurahan belum menyusun Renstra ataupun renja. Alasan yang dikemukakan berbagai daerah adalah, peleburan kecamatan dan kelurahan menjadi SKPD baru terjadi pasca keluarnya PP No 41 Tahun 2007. Memang hal ini bisa dimaklumi tetapi ditahun ini masih saja belum terealisasi. Kota Solo, merupakan salah satu kota yang cukup maju dalam penerjemahan regulasi nasional juga masih belum ada kecamatan dan kelurahan yang menyusunnya.
Saat ini beberapa civil society organization, dengan difasilitasi Tim Kerja Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) berusaha mengkolaborasi kebutuhan masyarakat terkait pengentasan kemiskinan dengan menyusun RPJM Kelurahan. Yang perlu dicermati yakni apakah pembuatan RPJMKel ini sesuai regulasi? Memang menjadi agak bias bila dibandingkan dengan UU No 72 Tahun 2005 tentang Desa. Bagi desa, mereka memang tak menyusun Renstra maupun Renja namun membuat RPJMDes dan RKPDes untuk merencanakan pembangunan.
Pemerintah pusat yang dalam hal ini menjadi kewenangan Kementrian Dalam Negri perlu meluruskan perbedaan persepsi. Sayangnya baik pihak yang menginisiasi RPJMKel maupun Renstrakel memiliki landasan yang kuat. Mereka yang terlibat dalam penyusunan RPJMKel menyatakan, kelurahan adalah perangkat daerah kewilayahan sehingga lebih tepat menggunakan RPJMKel dan menurunkannya dalam RKPKel. Sedangkan dalam regulasi memandatkan penyusunan Renstrakel dan Renjakel untuk menyusun perencanaan.
Program PNPM diberbagai daerah termasuk yang bekerja di Kota, mensyaratkan ada RPJM Pronangkis (Program Penanggulangan Kemiskinan). Bila demikian, lantas manakah yang harus dikerjakan? Ada format yang cukup berbeda antara RPJM dengan Renstra. Dalam RPJM dikaji tentang arah kebijakan keuangan, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum serta program kerja satuan-satuan pendukung dibawahnya. Sementara Renstra menjabarkan visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan oleh institusi. Perlu penulis tekankan institusi karena memang isi renstra adalah jabaran hal-hal penting untuk konteks institusi. Beda dengan RPJM yang merupakan jabaran dari rencana implementasi kebijakan kepala daerah yang memang dipilih.
Artinya bila desa menyusun RPJM akan masuk akal sebab kepala desa dipilih oleh masyarakat. Nah apabila kelurahan, kepala kelurahan merupakan jabatan yang diberikan pada seseorang pegawai atas dasar kepercayaan serta merupakan tugas Seandainya hal ini dibiarkan maka tiap daerah akan menjalankan kebijakan bagi kelurahan bisa berbeda. Sudah kita ketahui bersama bahwa kelurahan itu ada di semua kabupaten kota dan tidak spesifik di kota saja. Masyarakat akan dibingungkan dengan format yang bisa saja berbeda antara wilayah satu dengan yang lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar