Selasa, 14 Desember 2010

Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah



Rata-rata pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia mengandalkan pendapatan daerahnya dari dana DAU (Dana Alokasi Umum) maupun DAK (Dana Alokasi Khusus) untuk menjalankan pembangunan. Di beberapa daerah yang lain, yang kaya akan sumber daya alam lebih mengandalkan Dana Bagi Hasil dari pemerintah pusat. Sedangkan kontribusi dari Pendapatan Asli Daerah (baik berupa pajak maupun retribusi) sering menyumbangkan pendapatan tak lebih dari 20 persen total pendapatan daerah. Kenapa begitu? Ada berbagai factor yang dapat melatarbelakangi motif Pemda melakukannya.

Bisa jadi karena memang potensi pajak dan retribusinya kecil atau malah memang berargumentasi tak mau memberi beban lebih pada masyarakat. Sayangnya pada kedua alasan itu sering ditemukan berimbas pada layanan publik yang tak optimal. Kalau mau ditelisik lebih jauh, Pendapatan Asli Daerah/PAD yang banyak memberi sumbangan adalah dari retribusi kesehatan. Meski banyak orang sangat mengerti layanan kesehatan di Indonesia pada rumah sakit-rumah sakit negeri banyak yang tidak optimal. Apalagi bagi pengguna Jamkesmas atau Jamkesda. Ada banyak kasus layanan yang setengah hati atau masyarakat harus rela menunggu operasi atau mendapat penanganan yang ala kadarnya.

Lantas, solusi apakah yang bisa diambil para pengambil kebijakan ditingkat daerah agar PAD dapat meningkat signifikan tanpa menambah beban masyarakat? Haruskan mengambil kebijakan tak popular seperti yang sempat akan diterapkan di Jakarta yaitu mengenakan pajak pada warung makan berpenghasilan Rp 60 juta/tahun alias Rp 5 juta/bulan? Akan sangat banyak warung makan terkena pajak bila Raperda ini diberlakukan sebab warung makan beromset Rp 165 ribu/hari di Jakarta tentu sangat banyak. Maka dari itu, pemerintah daerah perlu berhati-hati dalam melakukan pemetaan dan pengetatan pengelolaan pendapatan daerah.

Sebenarnya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pemasukan dari retribusi dan pajak yang memang menjadi kewenangan daerah. Pertama tentunya adalah intensifikasi pendapatan. Langkah ini dapat berupa pemetaan potensi pendapatan, pembuatan mekanisme pelaporan serta capacity building petugas pendapatan. Untuk pemetaan potensi pendapatan, daerah bisa melakukan survey pada objek retribusi tiap setahun sekali. Sebut saja pasar tradisional yang memberi kontribusi dari retribusi pedagang, parkir, keamanan maupun kebersihan. Empat potensi pemasukan dapat dikalkulasikan dengan melihat jumlah pedagang serta pengunjung pasar pada saat ramai maupun sepi. Tiap pasar akan mengalami keramaian maupun sepi pada saat-saat tertentu.

Kemudian untuk pembuatan mekanisme pelaporan, dapat menggandeng pihak-pihak yang ahli untuk mendesign bagaimana pelaporan pendapatan harian dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Artinya setoran harian naik atau turun dapat disertai dengan keterangan kondisi objek pendapatan. Bila rata-rata harian pendapatan berkisar Rp 450 ribu namun suatu saat hanya masuk Rp 200 ribu harus disertai catatan yang jelas kenapa hal itu terjadi. Ini melatih petugas pungutan retribusi menganalisis lapangan kerjanya dan berinteraksi lebih jauh dengan pelaku. Sehingga para petugas penarik retribusi tidak sekedar bekerja bagai mesin tetapi membangun kondisi dan menciptakan komunikasi yang dapat membantu daerah menyampaikan pertanggungjawaban pada publik.

Capacity building bagi aparatur sebenarnya menempati posisi yang sama penting untuk penyelenggaraan pemerintahan. Cuma sayangnya berbagai ajang penyelenggaraan kegiatan selalu terlalu formal dan kaku sehingga materi-materi yang seharusnya dapat diserap optimal menjadi tidak berefek. Target membangun kapasitas ini lebih ditujukan pada membangun diri untuk memiliki komitmen dan bekerja secara jujur yang penulis yakin sudah jarang menemukan birokrasi kita yang seperti ini. Hal ini sebagai antisipasi upaya-upaya penyelewengan pendapatan jika pada saat tertentu petugas pungutan dalam kondisi tertentu. Misalnya saja menjelang lebaran, tahun ajaran baru atau ada keluarganya yang sedang terkena musibah.

Langkah kedua yang dapat dilakukan oleh kepala daerah yakni memberi reward and punishment pada pihak-pihak yang terkait dengan objek pungutan maupun petugasnya. Tidak usah terlalu sering dan bisa setahun sekali diselenggarakan sudah dapat menjadi semacam pemicu. Perumusan indikator pihak yang mendapat reward atau punishment dapat diselenggarakan secara terbuka sehingga masyarakat merasa dilibatkan. Rewardnya pun tidak selalu berbentuk nominal tertentu tapi bisa berupa insentif yang merangsang pelaku pada pendapatan bekerja bertambah baik. Bagi petugas pemungut misalnya diberi tambahan hari cuti atau mendapat kesempatan menemani kepala daerah saat melakukan kunjungan kerja untuk optimalisasi pendapatan ke daerah lain. Sedangkan bagi objek pungutan dapat diberi insentif berupa potongan retribusi untuk kurun waktu tertentu.

Kedua langkah ini dapat dimaksimalkan dengan langkah ketiga yakni publikasi. Di tengah era globalisasi dan media memegang peranan signifikan, tentu publikasi bagi penyelenggaraan pendapatan daerah akan semakin berjalan optimal. Objek maupun petugas pemungut akan merasa diperhatikan dan merasa dihargai sehingga menimbulkan dampak yang cukup baik bagi daerah. Masyarakat tentunya mengapresiasi langkah kepala daerah dengan sikap tertib memberi masukan maupun ikut berkontribusi bagi pemasukan daerah. Otomatis kedepannya, pendapatan daerah akan meningkat secara proporsional. Jadi, meningkatkan pendapatan daerah tidak selalu dengan cara ekstensifikasi pajak dan retribusi yang dapat menambah beban masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar