Senin, 20 Februari 2017

Bangkai Cucak Rowo Milik pak RT

Suatu ketika ketika menyusuri sebuah jalan kampong tergeletak seekor burung cucak rowo didepan rumah mewah yang terdapat papan nama Ketua Rt dengan gelar cukup banyak. Bau bangkai cucak rowo menyebar dan dari jarak 50 meter sudah tercium baunya. Di halaman rumah mewah itu tidak hanya terdapat puluhan sangkar burung namun beragam burung dengan kicauan nan merdu. Pilihan pertama, ku ketuk rumahnya dan kutanyakan apakah itu salah satu burungnya yang mati.

Kulihat gerbang depan ada gembok dan memang terkunci dari luar. Pilihan kedua kubiarkan saja toh aku tidak kenal siapa pak Rt bahkan masyarakat sekitar rumah itu. Aku cuma kebetulan lewat dari sebuah perjalanan. Pilihan ketiga, dari pada mengganggu burung itu aku masukkan kresek dan kutenteng ke perjalanan pulang yang berjarak 1 km dari kampungku.

Meski mati didepan rumah, burung itu bisa milik siapapun dan kebetulan mati disana. Atau memang dicuri dari dalam rumah dan sengaja dihilangkan nyawanya kemudian ditinggal begitu saja. Ada banyak kemungkinan.

Meski telah kuambil, sisa bau itu tidak hilang juga di seputar rumah. Pilihan keempat, aku makamkan di kebun belakang rumah yang cukup luas. Ada naluri lain, (pilihan kelima) bangkai burung yang sekarang dalam plastik itu kutaruh di depan pagar. Berharap ada orang yang tahu penyebab kematiannya atau tetangga lebih menjaga burung peliharaan dirumah masing-masing.

Hari demi hari kulalui. Agus, wahyu, joko, trimo yang tiap sore kumpul berhaha hihi di teras rumah mulai tak datang. Tutik, marni atau karmi yang hampir tiap sore petan sama biniku juga entah kemana. Bambang, narman serta fajar sudah tidak mengajak anakku main bola.

Kang Boni penjaja daging ayam tak lagi ku dengar suaranya ketika pagi. Bel sepeda Yu juminten penjaja sayur mulai kurindukan. Atau mbah tari penjaja jamu gendong teriakannya entah kemana. Atau raungan motor si jamran penjual susu murni tidak lagi mengagetkan si bungsu.

Bau bangkai itu menyebar ke sekitar rumah dan tetangga meminta agar segera dimakamkan. Aku bersikeras akan memakamkan bila penyebab kematian burung itu jelas. Tetangga, saudara, orang tua dan teman-temanku kemudian menjauhiku karena perilaku ku yang tidak masuk akal bagi mereka. Semua menyingkir dan tidak ada lagi yang lewat didepan rumah termasuk pedagang sayur, penjual es keliling, pedagang tahu bulat dan lainnya. Ketika kutanyakan soal cucak rowo yang mati didepan pak Rt, mereka menjawab tidak tahu. Pun pak Rt ketika kutanyakan, mengaku tidak ada satupun burungnya yang hilang.

Hari ketujuh, semua tetangga sudah mengungsi karena tidak tahan lagi bau dan segala kemungkinan penyakit yang bakal timbul. Demikian juga istri dan anakku. Tiba-tiba seseorang datang dan memintaku memakamkan bangkai burung tersebut. Dia hanya menyampaikan bahwa kengototanku mempertahankan bangkai burung sudah meresahkan. Tidak ada lagi yang tinggal di kampungku.

Bangkai itu sudah ke 10 kali didengarnya diberbagai tempat dan selalu saja ada orang yang karena keinginannya menemukan penyebab kematian burung, tidak langsung dikubur. Akibatnya, kampung menjadi sepi dan orang semua beranjak karena merasa tidak nyaman. Mereka tidak mengerti jika hanya ingin mencari siapa penyebab burung itu menjadi bangkai mengapa harus bangkainya yang diletakkan didepan rumah. Mengapa tidak mewaspadai kampung yang mungkin sudah tidak aman? Tidak perlu bangkai itu dibiarkan tidak segera dikubur agar bau, potensi penyakit maupun kerukunan warga menjadi terganggu.

Atau cukup kabarkan ada bangkai burung yang entah milik siapa, datang dari mana, mati karena apa dan perlunya meningkatkan kewaspadaan.


Aku tersadar, anak, istri, teman, tetangga dan saudaraku telah pergi. Aku kelewat malu mempertahankan hal yang tidak penting bahkan remeh. Ada 4 pilihan tindakan lain yang lebih baik namun aku justru memilih yang kelima. Nasehat-nasehat yang datang aku abaikan bahkan yang datang dari dokter tentang kemungkinan penyakit2 yang bisa ditimbulkan dari bangkai itu.

0 komentar:

Posting Komentar