Suatu ketika ketika menyusuri sebuah jalan kampong
tergeletak seekor burung cucak rowo didepan rumah mewah yang terdapat papan
nama Ketua Rt dengan gelar cukup banyak. Bau bangkai cucak rowo menyebar dan
dari jarak 50 meter sudah tercium baunya. Di halaman rumah mewah itu tidak
hanya terdapat puluhan sangkar burung namun beragam burung dengan kicauan nan
merdu. Pilihan pertama, ku ketuk rumahnya dan kutanyakan apakah itu salah satu
burungnya yang mati.
Kulihat gerbang depan ada gembok dan memang terkunci dari
luar. Pilihan kedua kubiarkan saja toh aku tidak kenal siapa pak Rt bahkan
masyarakat sekitar rumah itu. Aku cuma kebetulan lewat dari sebuah perjalanan.
Pilihan ketiga, dari pada mengganggu burung itu aku masukkan kresek dan
kutenteng ke perjalanan pulang yang berjarak 1 km dari kampungku.
Meski mati didepan rumah, burung itu bisa milik siapapun dan
kebetulan mati disana. Atau memang dicuri dari dalam rumah dan sengaja
dihilangkan nyawanya kemudian ditinggal begitu saja. Ada banyak kemungkinan.
Meski telah kuambil, sisa bau itu tidak hilang juga di
seputar rumah. Pilihan keempat, aku makamkan di kebun belakang rumah yang cukup
luas. Ada naluri lain, (pilihan kelima) bangkai burung yang sekarang dalam
plastik itu kutaruh di depan pagar. Berharap ada orang yang tahu penyebab
kematiannya atau tetangga lebih menjaga burung peliharaan dirumah
masing-masing.
Hari demi hari kulalui. Agus, wahyu, joko, trimo yang tiap
sore kumpul berhaha hihi di teras rumah mulai tak datang. Tutik, marni atau
karmi yang hampir tiap sore petan sama biniku juga entah kemana. Bambang,
narman serta fajar sudah tidak mengajak anakku main bola.
Kang Boni penjaja daging ayam tak lagi ku dengar suaranya
ketika pagi. Bel sepeda Yu juminten penjaja sayur mulai kurindukan. Atau mbah
tari penjaja jamu gendong teriakannya entah kemana. Atau raungan motor si
jamran penjual susu murni tidak lagi mengagetkan si bungsu.
Bau bangkai itu menyebar ke sekitar rumah dan tetangga
meminta agar segera dimakamkan. Aku bersikeras akan memakamkan bila penyebab
kematian burung itu jelas. Tetangga, saudara, orang tua dan teman-temanku
kemudian menjauhiku karena perilaku ku yang tidak masuk akal bagi mereka. Semua
menyingkir dan tidak ada lagi yang lewat didepan rumah termasuk pedagang sayur,
penjual es keliling, pedagang tahu bulat dan lainnya. Ketika kutanyakan soal
cucak rowo yang mati didepan pak Rt, mereka menjawab tidak tahu. Pun pak Rt
ketika kutanyakan, mengaku tidak ada satupun burungnya yang hilang.
Hari ketujuh, semua tetangga sudah mengungsi karena tidak
tahan lagi bau dan segala kemungkinan penyakit yang bakal timbul. Demikian juga
istri dan anakku. Tiba-tiba seseorang datang dan memintaku memakamkan bangkai
burung tersebut. Dia hanya menyampaikan bahwa kengototanku mempertahankan
bangkai burung sudah meresahkan. Tidak ada lagi yang tinggal di kampungku.
Bangkai itu sudah ke 10 kali didengarnya diberbagai tempat
dan selalu saja ada orang yang karena keinginannya menemukan penyebab kematian
burung, tidak langsung dikubur. Akibatnya, kampung menjadi sepi dan orang semua
beranjak karena merasa tidak nyaman. Mereka tidak mengerti jika hanya ingin
mencari siapa penyebab burung itu menjadi bangkai mengapa harus bangkainya yang
diletakkan didepan rumah. Mengapa tidak mewaspadai kampung yang mungkin sudah
tidak aman? Tidak perlu bangkai itu dibiarkan tidak segera dikubur agar bau,
potensi penyakit maupun kerukunan warga menjadi terganggu.
Atau cukup kabarkan ada bangkai burung yang entah milik
siapa, datang dari mana, mati karena apa dan perlunya meningkatkan kewaspadaan.
Aku tersadar, anak, istri, teman, tetangga dan saudaraku
telah pergi. Aku kelewat malu mempertahankan hal yang tidak penting bahkan
remeh. Ada 4 pilihan tindakan lain yang lebih baik namun aku justru memilih
yang kelima. Nasehat-nasehat yang datang aku abaikan bahkan yang datang dari
dokter tentang kemungkinan penyakit2 yang bisa ditimbulkan dari bangkai itu.
0 komentar:
Posting Komentar