Hingga kini pertarungan pembahasan perpanjangan ijin PT
Freeport Indonesia terus coba dilakukan. Sejak rejim Joko Widodo, yang baru 2
tahun 6 bulan memerintah Freeport sudah kebingungan cara melakukan negosiasi.
Kali ini PTFI tidak bisa sembarangan dan mudah menundukkan pemerintah untuk
manut saja ikut kemauan mereka.
Dalam sejarah, jika rezim menentang taruhannya turun di
tengah jalan atau diam saja. Rezim Gus Dur pun tumbang karena menentang
perpanjangan kontrak yang tidak adil serta mengusulkan Tombenal menjadi
Komisaris. Empat bulan setelah lengser keluarlah UU Migas yang berisi
liberalisasi tambang migas maupun amandemen UUD 45 yang menguntungkan asing.
Keluarnya kebijakan tersebut menunjukkan bahwa mereka
mengerti betul cara “merontokkan” kekuasaan dengan bermain di “Senayan”. Asumsi
kedua terbukti dengan munculnya kasus Papa Minta Saham.
Lantas siapa mantan jenderal yang sudah dikorbankan Freeport
dalam upaya melakukan renegosiasi kontrak? Pertama, Marsma (Purn) Maroef
Sjamsoeddin yang menjabat Presiden Direktur PTFI mengundurkan diri pada 18
Januari 2016. Mantan Wakil Kepala BIN 2011 – 2014 yang juga adik dari Lejten
(Purn) Safrie Sjamsoeddin terkena kasus Papa Minta Saham dengan Ketua DPR Setya
Novanto.
Merasa purnawirawan bintang 2 masih belum tangguh, tidak
tanggung-tanggung jabatan Maroef digantingkan Mantan KSAU Tahun 2002 - 2005,
Jendral (Purn) Chappy Hakim. Ditempatkannya Chappy ini tentu bukan tanpa alasan.
Chappy menjalani 2 periode Presiden yakni Megawati dan SBY. Harapannya rezim
saat ini adalah milik PDIP sehingga akan mudah dilobi olehnya. Apa hubungannya
dengan demokrat? Jika ada problem dalam proses negosiasi kontrak baru dan harus
dibahas di DPR, maka akan mudah ditembus oleh Chappy.
Rupanya perhitungan ini salah dan Chappy pun mengundurkan
diri hanya kurang lebih 3 bulan saja, diangkap pada 20 November 2016 dan mundur
pada 18 Februari 2017. Merasa kepepet, kini PTFI membuat ancaman lain yaitu
langsung merumahkan puluhan ribu karyawannya. Langkah selanjutnya jika
pemerintah menolak tawaran mereka dalam 120 hari mereka akan menggugat lewat
arbitrase.
Hal ini dilakukan oleh PTFI karena pemerintah menekan mereka
untuk mematuhi berbagai peraturan baru di Indonesia. Perlu diketahui Relaksasi
ekspor konsentrat berakhir pada 11 Januari 2017 yang artinya tidak bisa lagi
mengekspor konsentrat. Setelah itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2017 (PP 1/2017), Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2016
(Permen ESDM 5/2016), dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2016 (Permen
ESDM 6/2016).
Berdasarkan PP 1/2017, para pemegang Kontrak Karya (KK) harus mengubah kontraknya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi bila ingin tetap mendapat izin ekspor konsentrat. Bila tak mau mengganti KK-nya menjadi IUPK, mereka tak bisa mengekspor konsentrat. Prosedur untuk mengubah KK menjadi IUPK diatur dalam Permen ESDM 5/2017.
Pada 10 Februari 2017 lalu, Menteri ESDM Ignasius Jonan telah menyodorkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Freeport sebagai pengganti Kontrak Karya (KK). Jika tak mau menerima IUPK, Freeport tak bisa mengekspor konsentrat tembaga, kegiatan operasi dan produksi di Tambang Grasberg pasti terganggu.
Tapi Freeport tak mau begitu saja mengubah KK-nya menjadi IUPK. Sebab, IUPK tak memberikan kepastian, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir (naildown).
Selain itu, pemegang IUPK juga diwajibkan melakukan divestasi hingga 51%. Freeport keberatan melepas saham hingga 51% karena itu berarti kendali atas perusahaan bukan di tangan mereka lagi, saham mayoritas dipegang pihak lain.
Berdasarkan PP 1/2017, para pemegang Kontrak Karya (KK) harus mengubah kontraknya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi bila ingin tetap mendapat izin ekspor konsentrat. Bila tak mau mengganti KK-nya menjadi IUPK, mereka tak bisa mengekspor konsentrat. Prosedur untuk mengubah KK menjadi IUPK diatur dalam Permen ESDM 5/2017.
Pada 10 Februari 2017 lalu, Menteri ESDM Ignasius Jonan telah menyodorkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Freeport sebagai pengganti Kontrak Karya (KK). Jika tak mau menerima IUPK, Freeport tak bisa mengekspor konsentrat tembaga, kegiatan operasi dan produksi di Tambang Grasberg pasti terganggu.
Tapi Freeport tak mau begitu saja mengubah KK-nya menjadi IUPK. Sebab, IUPK tak memberikan kepastian, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir (naildown).
Selain itu, pemegang IUPK juga diwajibkan melakukan divestasi hingga 51%. Freeport keberatan melepas saham hingga 51% karena itu berarti kendali atas perusahaan bukan di tangan mereka lagi, saham mayoritas dipegang pihak lain.
Berdalih apapun PTFI harus tunduk pada
Indonesia karena ini menyangkut harga diri bangsa. Presiden lain mungkin bisa
anda tundukkan dengan cara berpolitik. Signyal itu jelas, disaat pemerintah
melakukan renegosiasi siapa anggota DPR yang bersuara keras pada Freeport?
TIDAK ADA.
Tenang saja pak Jokowi, berapa jendral
berbintang mereka ajukan tak mampu akan kalahkan anda karena dibelakang anda
sudah ada yang siap membackingi anda dengan bintang Sembilan (PBNU).
Dari berbagai sumber
0 komentar:
Posting Komentar