Meski berbagai kebijakan dikeluarkan untuk meminimalisir perilaku pungutan liar namun ternyata hal itu tidak mudah. Ada beragam faktor yang menjadikan pungli masih ditemui disekolah-sekolah. Gelontoran alokasi dana BOS dari pusat maupun daerah tak juga kunjung mengurangi bahkan menghapus praktek terlarang tersebut. Hal ini mencuat dalam diskusi yang diselenggarakan KPK, PIA dan berbagai organisasi masyarakat sipil pada 9 Desember 2016 di pendopo Bupati Bantul.
"Ada banyak faktor yang menjadikan pungutan atau korupsi masih terjadi di satuan pendidikan kita. Misalnya gaya hidup pengelola BOS yang hedonis, peraturan multi tafsir, pengawasan yang lemah, penghitungan biaya yang absurd, komite sekolah yang tertutup dan masih banyak lainnya" jelas Hifdzil Alim SH MH dari Pukat UGM. Dirinya prihatin melihat fenomena yang berubah 180 derajat melihat pola hidup guru jaman dulu dengan saat ini. Sebelum ada sertifikasi kinerja mereka bagus namun begitu ada tunjangan sertifikasi para pendidik malah berubah gaya hidupnya bukan cara mendidiknya.
Pada pasal 368 ayat (1) KUHP dijelaskan “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupunmenghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan”.
PAJ Daeng dari Kemdikbud menegaskan semua sekolah negeri baik yang bernaung dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian Agama mendapat alokasi BOS. Sekolah swasta juga dibebaskan memutuskan apakah mau tetap menerima atau tidak. Yang jelas dana BOS untuk tambahan operasional. "Idealnya sudah tidak ada pungutan lagi terutama sekolah-sekolah dijawa sebab anggaran yang kita berikan cukup besar lho" ujar Daeng. Mekanisme perencanaan dan pelaporan juga sudah dibuat sedemikian ketatnya agar praktek pungli tidak terjadi.
Walaupun begitu, rupanya di Bantul masih banyak ditemukan sekolah melakukan pungli. Untuk tahun ajaran 2015/2016, Yuliani dari Sarang Lidi menegaskan ada beberapa siswa yang dia bantu mendapatkan ijazahnya. "Sesuai aturan, pungutan dan ijazah itu tidak ada kaitannya sehingga model penahanan itu masuk juga sebagai pungli. Disisi lain, anak-anak yang ijazahnya ditahan mengadunya ke kami bukan ke komite sekolah. Bukankah mediasi harusnya tugas mereka?" ungkapnya dengan lantang.
Ujaran ini memunculkan kegaduhan sebab tidak sedikit komite sekolah yang hadir serta merasa tidak berbuat salah. Seorang pria yang juga orang tua siswa menyatakan, disekolahnya tidak pernah ada undangan untuk membahas anggaran, "Kalau ibu tahu semestinya datang ke sekolah-sekolah, beritahu kami bagaimana mekanisme yang benar. Tidak asal menyalahkan begitu. Apa kalau sekolah tidak mengajak kami harus tanya-tanya gitu? Saru untuk orang jawa" kata pria berbaju batik coklat dengan berapi-api. Komite sekolah yang lain menyarankan agar diskusi seperti ini tidak digelar setengah hari atau hari jum'at. "Supaya kita semua gamblang, tahu mana yang seharusnya dan mengadu kemana kalau ditemukan pungli. Jadi jangan cuma menyalahkan" kata laki-laki paruh baya dengan nada tinggi.
Sayangnya pemateri terlalu banyak sehingga hanya sedikit peserta yang melontarkan pertanyaan. Selain 3 narasumber diatas masih ada narasumber dari Dewan Pendidikan, Lembaga Ombudsman DIY, masih ada penanggap dari LBH DIY.
0 komentar:
Posting Komentar