Sabtu, 04 Mei 2013

Underpass, Solusi Atasi Kemacetan Yang Keliru

Semakin berkembangnya sebuah kota, maka perlu penataan kota yang nyaman agar masyarakat betah dan merasa tenang berdiam diri. Salah satu unsur yang dijadikan patokan adalah rekayasa lalu lintas. Pesatnya pertumbuhan ekonomi telah menjadikan pertumbuhan alat transportasi pribadi begitu cepat. Disisi lain, pertumbuhan jalan prosentasenya tidak sampai 2 digit. Akibatnya dapat ditebak, diberbagai wilayah terjadi kemacetan.

Hal ini mendorong pemerintah daerah melakukan rekayasa lalu lintas supaya alur transportasi kembali normal. Berharap pada penggunaan kendaraan umum maupun pembatasan atau regulasi penjualan kendaraan pribadi bukan solusi jitu. Pemerintah pusat nampaknya lebih suka menikmati pertumbuhan ini dibanding melihat betapa kacaunya lalu lintas di berbagai wilayah di Indonesia. Pengelolaan jalur transportasi yang sering terkendala adalah persimpangan jalan dengan rel perlintasan kereta api.

Salah satunya yang tahun 2013 ini dibuka yakni Underpass Makamhaji Sukoharjo. Walaupun demikian, pasca pembukaan underpass tersebut ternyata bukan solusi jitu mengatasi keruwetan lalu lintas. Yang terjadi malah masalah baru yang sebelumnya tidak dibayangkan oleh Pemda. Disisi barat maupun timur dan tengah (arah Gawok) justru muncul titik kemacetan baru terutama pada jam keberangkatan dan pulang kerja. Nampaknya kajian yang dilakukan oleh pihak terkait tidak benar-benar matang.

Underpass Makamhaji Pada Hari Libur
Lebih miris lagi, ditahun-tahun mendatang Kota Solo malah mengajukan 5 underpass baru. Di Kota Solo sendiri sudah memiliki 1 underpass yakni di kawasan Gilingan yang tidak juga efektif. Ketidakefektifan itu dari ketinggian antara titik jalan dengan rel maupun kondisi saat hujan deras yang airnya selalu tergenang. Akibatnya bila hujan deras maka jalur ini akan ditutup. Melihat kondisi tersebut, Pemkot Kota Solo mengajukan 5 underpass baru yang tidak akan efektif mengatasi kemacetan.

Kenapa? Karena perlintasan kereta di 5 titik yang diajukan itu yakni Purwosari, Manahan, Turisari, Balapan dan Viaduct gilingan (underpass pertama). Seperti kita tahu 4 titik yang disebut pertama sesungguhnya bukan murni 2 perlintasan kereta dengan jalan raya. Di Purwosari sebenarnya ada 5 jalan utama, di Manahan ada 7 jalan utama, di Turisari 4 jalan utama dan di Balapan 4 jalan utama. Yang rekayasa lalu lintasnya akan sangat sulit dilakukan yaitu di Purwosari dan Manahan.

Sebab hal ini menyangkut tidak saja jalan raya biasa tetapi jalan besar dan padat. Di Purwosari misalnya 5 titik utama itu menyangkut Jalan Agus Salim, Jl Slamet Riyadi (Stasiun), Jalan Transito. Ketiganya berada di Timur rel kereta dan sebelah barat yaitu menuju pertigaan kerten serta ke arah manahan. Ke 5 jalur ini sangat dekat (tidak lebih dari 100 meter) sehingga akan menyulitkan dalam pengaturan setelah underpass tersebut jadi.

Idealnya Kementrian Perhubungan mengkaji ulang seluruh design yang diajukan oleh Pemerintah Kota Solo. Untuk kurun jangka panjang, sebagainya dibuat jalur diatas untuk rel kereta api sehingga jalan raya tetap begitu. Dari aspek budget pasti dibutuhkan anggaran lebih besar namun impact lebih konkrit untuk jangka panjang. Buat saja rel kereta diatas sejak stasiun Gawok sehingga tersedia cukup jarak ketika memasuki Kota Solo akan tepat berada di ketinggian ideal.

Lahan dibawahnya bisa dimanfaatkan banyak hal seperti lahan relokasi PKL, Ruang terbuka hijau, tempat parkir, perpustakaan komunitas dan lain sebagainya. Potensi pemanfaatan ini bila dikalkulasi dengan anggaran dan kemacetan yang terurai justru manfaatnya akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan membangun underpass. Lihat saja kawasan Jakarta pusat di Stasiun Gambir, Gondangdia dan sekitarnya. Jauh lebih optimal dibandingkan dengan stasiun Senen, Jatinegara, Manggarai dan lain sebagainya.

0 komentar:

Posting Komentar