Rabu, 29 Mei 2013

Layakkah Kesejahteraan Lurah Di Solo Naik?

Gagasan menaikkan tunjangan lurah yang dikemukakan Hadi Rudyatmo sebagai Walikota Solo memang patut diapresiasi. Hal ini dikarenakan kebutuhan sosial jabatan lurah cukup tinggi baik untuk menghadiri undangan dari masyarakat maupun kegiatan yang berhubungan dengan jabatan di wilayah. Tunjangan jabatan lurah selama ini sebesar Rp 1,5 juta dan diusulkan oleh Walikota menjadi Rp 2 juta pada Tahun 2014. Harapannya agar kinerja dan pungli yang pernah mencuat di Kratonan tidak terjadi lagi.

Sebuah harapan yang wajar namun setidaknya ada beberapa catatan sebelum kebijakan ini diterapkan. Jabatan lurah dan camat merupakan jabatan pembina disebuah wilayah atau teritori. Hingga saat ini masyarakat tidak pernah tahu bagaimana sebenarnya pertanggungjawaban atas jabatan ini. Memang kewenangan pengangkatan dan pemberhentian adalah milik kepala daerah namun selayaknya diupayakan terobosan agar penilaian atas kinerja Lurah dan Camat akan lebih fairness.

Kebersihan lingkungan pantas jadi indikator (Photo by Ardian YKKS)
Kepala daerah saja yang dipilih langsung masyarakat malah bertanggungjawab kepada legislatif. Buat saja formula penilaian kinerja lurah secara umum. Bisa terkait pembinaan terhadap masyarakat, hubungan dengan kelembagaan yang ada, bagaimana menjaga ketentraman, keamanan dan lain sebagainya. Bisa juga sikap dan pribadi dinilai. Penilaian sebaiknya tertutup dan terbatas pada organisasi maupun tokoh masyarakat setempat. Hal ini bukan menjadi penentu utama tetapi tambahan pertimbangan penilaian yang dilakukan Baperjakat.

Maka dari itu wacana menaikkan tunjangan kesejahteraan tidak berkutat pada setuju atau tidak setuju namun apa parameternya? Berikut beberapa hal yang bisa dijadikan tambahan penilaian penentuan tambahan tunjangan untuk lurah.
1. Bagaimana kinerja kepala kelurahan dalam setahun terakhir. Hal ini penting agar lurah yang malas otomatis tidak mendapat tambahan tunjangan kesejahteraan. Dia harus bekerja lebih giat dengan mau mendengar, melihat dan bekerja sesuai kebutuhan masyarakat.

2. Tiap wilayah besaran tunjangannya tidak sama Rp 2juta tetapi disesuaikan dengan beban kerja. Bagaimana bisa di Kepatihan Kulon tunjangannya Rp 2 juta dan di Kadipiro, Nusukan atau Jebres juga sama besarnya. Hal ini pasti akan menimbulkan kecemburuan serta harapan kinerja yang membaik tidak akan diperoleh.

3. Beberapa indikator tentu tidak sekedar luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah RW namun bisa jadi penilaian masyarakat bisa menjadi komponen atau faktor penilai juga. Kasihan lurah yang rajin, cekatan, ringan tangan dan mendengar warganya mendapat tunjangan yang sama dengan lurah yang malas.

4. Pungli tidak bisa dijadikan alasan bahwa tunjangan kesejahteraan lurah dinaikkan. Walikota harus memberi alasan yang lebih masuk akal karena kasus pungli terungkap hanya di Kratonan, 1 kelurahan dibandingkan dengan 51 kelurahan.

5. Faktor program DPK yang mendukung RPJMD layak menjadi faktor tambahan yang signifikan untuk memberi tambahan nilai. Sehingga lurah tidak sekedar mau mendengar dan bekerja berdasarkan rakyat tetapi juga menjalankan kebijakan daerah.

Maka dari itu sangat penting merumuskan indikator penilaian kinerja lurah terlebih dahulu dibanding asal menaikkan saja. Pemerintah Kota Solo harus mulai belajar dalam mengapresiasi sesuatu tidak boleh memakai ukuran asal-asalan seperti yang dicontohkan pemerintah pusat. Dalam bekerja, birokrasi harus berlandaskan target kinerja bukan bisnis as usual.

0 komentar:

Posting Komentar