Senin, 04 Februari 2013

Matinya Pasar Tradisional Akibat Salah Kebijakan

Kebijakan merevitalisasi pasar sebenarnya sebuah kebijakan baik yang patut diapresiasi. Karena keberadaan pasar tradisional berdampak signifikan ke berbagai sektor kehidupan masyarakat banyak. Berbeda misalnya dengan pasar modern atau yang lebih dikenal dengan supermarket, mall, hyper market dan berbagai istilah lainnya. Pasar modern kebanyakan dimiliki oleh pengusaha-pengusaha besar yang fokusnya hanya meningkatkan laba.

Sedangkan pasar tradisional multiflier effectnya mencakup berbagai sudut kehidupan masyarakat. Jadi pasar tradisional tidak sebatas ruang transaksi semata namun benar-benar menjadi ruang interaksi sosial yang mampu memperkuat nilai-nilai sosial. Memang terkesan tidak terlalu banyak aturan, bisa dilakukan tawar menawar harga hingga kita bisa berutang pada mereka. Tetapi dampaknya sangat luar biasa pada sosial budaya masyarakat kita.

Ngarsopuro, salah satu icon pasar tradisional Kota Solo
Sayangnya policy merevitalisasi pasar tradisional hanya sebatas pada bangunan fisik semata tidak mencakup penghuni alias pemilik kehidupan pasar. Hal ini mengakibatkan renovasi pasar memberi dampak yang bertentangan dengan revitalisasi itu sendiri. Tidak hanya diluar Solo, beberapa pasar di Solo yang telah direvitalisasi saat kepemimpinan Joko Widodopun ada yang mengalami penurunan interaksi sosial. Lihat Pasar Kembang, Pasar Kleco, Pasar Gading dan lainnya.

Di pasar-pasar itu sudah banyak pemilik kios bertumbangan dan berganti pedagang pasar yang modalnya kuat. Pasar direvitalisasi dengan APBD sehingga pemilik kios semula tak perlu membayar ganti rugi atas bangunan yang bakal dserahkan ke pedagang. Lihat saja renovasi pasar Pedan yang awalnya ada 700 pedagang namun begitu selesai hanya 70 pedagang saja yang bisa mengakses kembali alias cuma 10 persen dari total pedagang semula.

Hal ini timbul dikarenakan pasar dibangun oleh investor dengan masa pengelolaan tertentu. Akibat lanjutan merugikan semua pihak mulai pedagang, pemkab hingga investor mengalami kerugian besar. Pedagang yang modalnya terbatas kesulitan membayar kios. Investor tentu tak akan membiarkan pedagang kembali ke kiosnya tanpa membayar. Otomatis pemasukan investor akan lebih kecil dan target BEP dari renovasi semakin jauh dari harapan.

Bagi Pemkab Klaten, dengan hanya 70 pedagang maka pemasukan retribusi pasar merosot tajam. Asumsikan saja retribusi Rp 1000/hari maka perbulan hanya mendapat Rp 70.000. Bandingkan dengan jumlah pedagang sebelumnya yang mencapai Rp 700.000 atau Rp 21 juta sebulan alias Rp 252 juta untuk 1 pasar saja. Pedagang ketika tidak bisa membayar kios tentu tak bisa berdagang, otomatis tidak bisa berjualan dan kesulitan mencukupi kebutuhan hariannya.

Idealnya perlu mencontoh kebijakan Jokowi yakni renovasi pasar ditanggung oleh Pemkab/Pemkot dengan APBD. Toh APBD merupakan anggaran milik publik sehingga tanpa kembalipun tidak masalah. Ini yang menjadikan banyaknya pasar tradisional yang kemudian menjadi pasar modern. Pedagang harus kompak menolak revitalisasi pasar yang menggandeng investor agar mereka tetap bisa berjualan.

0 komentar:

Posting Komentar