Rabu, 20 Februari 2013

Jamkesda Rp 4 M, Makan Minum Pemda Rp 13 M

Baca media lokal 20 Februari 2013 rubrik Klaten membuat terkejut sebab anggaran makan minum selama 1 tahun anggaran besarnya 3 kali lipat lebih dibanding anggaran Jaminan Kesehatan Masyarakat Daerah (Jamkesda). Secara persis jumlah anggaran makan minum senilai Rp 13 M namun Jamkesda "hanya" Rp 4 M saja padahal perbandingan penikmat anggaran itu kontras alias berbanding terbalik. Jamkesda dinikmati oleh 25.000 jiwa.

Pun bandingkan dengan Alokasi Dana Daerah (ADD) yang hanya Rp 10 M saja meski jumlah desa mencapai 391 kelurahan dengan hanya 10 kelurahan saja. Adapun anggaran Rp 13 M terbagi untuk kegiatan rapat sebesar Rp 9,4 M, konsumsi harian PNS Rp 1,06 M dan menjamu tamu Rp 2,51 M. Kabupaten Klaten sendiri termasuk salah satu kabupaten dengan proporsi belanja pegawai yang cukup besar. Alokasinya masih diatas 70 persen dibanding belanja langsung ke masyarakat.

Hamparan sawah mudah ditemui di Klaten
Sayangnya dengan kondisi tersebut, Sunarna sebagai bupati belum mampu mendorong tingkat kemandirian anggaran daerah. Meski APBD meningkat tetapi peningkatan itu lebih bergantung ke sharing Dana Alokasi Umum sehingga tidak mampu membebaskan anggaran daerah dari ketergantungan masyarakat. Padahal tantangan masyarakatnya lebih besar serta potensi pendapatan cukup tinggi. Ketidakmampuan bupati ini tak juga mendorong wakil rakyat bersikap kritis.

Jumlah pegawai Kabupaten Klaten lebih dari 12.000 orang, alokasi belanja pegawai lebih dari 70 persen, APBD terus naik namun PAD tidak mengalami peningkatan signifikan. Potensi yang bisa digarap tentu dari sektor pariwisata seperti prambanan, merapi, candi, pemancingan, serta sektor periklanan. Berada di jalur Jogja-Solo yang potensi wisatanya besar, tentu ini keuntungan tersendiri. Secara geografis, wilayah pertanian juga berpotensi menyumbang PAD.

Belum lagi kekayaan alam yang hampir tak pernah habis yakni pasir dari gunung merapi yang terkenal kualitasnya. Meski pernah berkurang atau ada bencana letusan merapi, faktanya letusan itu mengiringi meluapnya stok pasir. Lihat saja desa-desa yang dilalui truk-truk pengangkut pasir, harusnya bertambah kekayaan mereka karena setiap truk yang lewat dikenai retribusi untuk perawatan jalan desa. Demikian juga setoran ke Pemkab. Padahal lalu lalang truk pasir itu hampir tak pernah berhenti dalam 18 - 20 jam.

Bukti bahwa penggalian pasir itu menguntungkan, beberapa kali ada truk terjebak bahkan terkena lahar dingin. Itu menandakan ketika turun hujan deras mereka harusnya segera beranjak dari lokasi penggalian pasir. Kenekatan itulah yang menyebabkan mereka terjebak disana. Gambaran itu idealnya mendorong Sunarna sebagai kepala daerah melakukan reorientasi kebijakan agar kesejahteraan tidak hanya dinikmati birokrasi saja namun juga masyarakat luas.

0 komentar:

Posting Komentar