Moda transportasi yang memakan biaya Rp 16 M tersebut justru malah menimbulkan beban tersendiri. Entah sekarang dimana keberadaannya dan seharusnya Dinas Perhubungan Kota Solo tidak membiarkan kereta tak beroperasi secara optimal. Hal itu bisa dinamakan pemborosan anggaran. Ada 6 persoalan mendasar terkait kereta yang sejak sebelum 2013 berhenti. Meski sempat beberapa bulan dijalankan namun beberapa masalah malah muncul.
Keenam masalah tersebut meliputi jalur, kualitas mesin, waktu operasional, biaya tiket, feeder atau wisata serta okupansi rendah. Pertama, Jalur Batara Kresna awalnya di design untuk jurusan Solo - Wonogiri namun faktanya sampai kereta dioperasikan jalur Sukoharjo - Wonogiri tak bisa dilalui kereta ini. Akibatnya penumpang kereta feeder sebelumnya justru beralih ke armada bus. Meski katanya jalur akan diperbaiki, hingga minggu ke 3 Februari belum ada kesiapan jalur hingga kesana.
Masalah kedua mengenai kualitas mesin yang ternyata tidak cukup tangguh. Walaupun biaya pembuatannya mencapai belasan miliar dan tidak terforsir pemakaiannya namun kereta itu masuk perbaikan pada tahun kedua. Artinya ada masalah dan masyarakat tidak diberi tahu kenapa mesti masuk perawatan. Bila dilihat jadual operasi dan tingkat keterisiannya tidak seimbang. Biaya perawatan itu apa masih masuk garansi pembelian atau Pemkot harus mengeluarkan anggaran, ini tidak jelas.
Prambanan Ekspress |
Persoalan keempat yaitu menyangkut biaya tiket. Berdasar analisa, harga tiket idealnya Rp 30.000 untuk jurusan Wonogiri - Solo atau sebaliknya. Tetapi harga itu cukup tinggi bila memang dikenakan pada penumpang dibandingkan moda transportasi lain. Bila nekad diterapkan tentu justru malah tak laku tetapi bila harga dibawah itu, operator akan mengalami kerugian. Memang muncul wacana disubsidi oleh Pemkot Solo, masalah baru akan muncul yakni siapa yang akan disubsidi?
Apakah penumpang harus menunjukkan KTP Solo? sebab subsidi menggunakan APBD Solo sehingga tidak mungkin penumpang non Solo disubsidi. Pemberlakuan 2 harga tentu sebuah tindakan tak lazim dan akan menimbulkan pertanyaan. Masalah kelima menyangkut fungsi kereta sebagai feeder (pengumpan) atau kereta wisata? Jalur yang dilalui di Kota Solo memang melalui jalan utama Slamet Riyadi sehingga mengesankan kereta wisata.
Selepas stasiun Sangkrah apakah memang masih menarik minat wisatawan? Sebab selain jarak tempuhnya cukup jauh serta kecepatan kereta dibawah 60km/jam bisa butuh seharian wisatawan menikmati perjalanan. Sedangkan mayoritas alam yang bisa dinikmati pasca stasiun sangkrah relatif sama. Kecepatan kereta bila dinaikkan tidak ideal karena jalur banyak melalui perkampungan.
Masalah keenam yaitu tingkat keterisian penumpang sangat minim. Berdasar perjalanan yang telah dilalui hanya 30 persen saja untuk jalur Solo - Sukoharjo. Tentu ini patut menjadi catatan tersendiri. Apakah sebelumnya tidak pernah dipetakan potensi pengguna jalur? Dari enam masalah ini, Dishub Solo harus mengevaluasi secara total operasional Batara Kresna supaya bila dijalankan kembali masalah serupa bisa diatasi.
0 komentar:
Posting Komentar