Selasa, 05 Februari 2013

Cobaan Rudy Saat 4 Bulan Jabat Walikota

Empat bulan pertama menjabat sebagai Walikota Solo, Hadi Rudyatmo mendapat ujian cukup berat yaitu melacak laporan sms tentang dugaan makelar jabatan dan pungutan liar atas sertifikat tanah. Dua hal ini diungkap karena tak ada aturan yang jelas namun ternyata terjadi. Dengan jabatan sebelumnya yakni Wawali, idealnya Rudy tak kesulitan melacak siapa pelaku maupun tindakan apa yang akan dilakukan. Masyarakat menunggu kinerja terutama dalam hal mereformasi birokrasi.

Isu makelar mutasi/jabatan muncul dari sebuah sms kepada Kepala BKD (Etty Retnowati) yang menanyakan berapa tarif untuk menduduki jabatan tertentu. Padahal sejak jaman Walikota Joko Widodo hal ini tidak pernah muncul beritanya. Hal ini dari aspek analisa bisa memunculkan 3 hal yakni dulu tak terendus dan sekarang terbuka. Kedua, menjatuhkan nama baik Walikota saat ini dan ketiga, ada pihak-pihak yang ingin menguji komitmen serta kinerja Rudi.

Ketiga hal inilah yang seharusnya melandasi Walikota untuk melakukan analisa mendalam tidak sekedar meminta informasi dari pengirim sms namun juga menelusuri motifnya. Bisa jadi ada pihak lain yang memprovokasi secara halus sehingga pengirim sms yang sudah diketahui PNS tersebut menanyakan hal tersebut ke Kepala BKD. Menemukan motif jauh lebih penting ketimbang sekedar menindak yang bersangkutan.

Bisa jadi si pengirim sms memang tak menyadari informasi yang didapat termasuk kategori "hoax" namun dia tetap berupaya menanyakannya. Atau memang Kepala BKD sebelumnya melakukan hal demikian namun hal ini sangat kecil karena Walikota saat itu dijabat Jokowi yang dikenal tak mau kompromi dengan negosiasi jabatan apalagi tagline beliau adalah "Berseri Tanpa Korupsi".

Ilustrasi




Soal kedua yakni mengenai pungutan sertifikasi tanah sebesar Rp 150.000/m2 yang diungkap seseorang ketika mengurus tanah di kelurahan Sondakan. Hal ini diakui lurah dan camat yang menyatakan sudah menjadi konsensus. Padahal senyatanya tak ada regulasi yang menaungi pungutan tersebut. Ditambah argumentasi kenapa ada pungutan yakni adanya resiko atas kebijakan yang diambil. Apakah para pelayan publik itu tidak tahu setiap jabatan pasti mengandung resiko dan tidak ada anggaran untuk tiap resiko tersebut.


Sayangnya disaat bersamaan konsentrasi Walikota terbagi untuk mengurusi pengajuan Cawawali yang sudah masuk tahap pengajuan rapat Panitia Khusus DPRD. Setidaknya Rudy bisa memerintahkan Sekda untuk mengkaji lebih dalam atas persoalan ini. Meminta Inspektorat menelusuri apa yang terjadi dan dimana saja hal itu terjadi, meminta Bagian Hukum menganalisa pelanggaran hukum apa saja yang sudah dilakukan, meminta BKD mendalami motif lurah dan camat melakukan pungutan tersebut serta meminta DPPKAD mengurai peluang bisa tidaknya pengurusan sertifikat tanah menjadi sumber PAD baru.

Tidak ringan menghadapi 2 persoalan ini karena berkaitan citra birokrasi yang pada kepemimpinan Jokowi relatif tidak ada persoalan mendasar. Apalagi masalah yang muncul saat ini berkaitan dengan pungutan liar yang bila memang terjadi menambah penghasilan pejabat terkait. Disisi lain tingkat kesejahteraan PNS Pemkot Surakarta sudah lebih baik dibanding daerah sekitarnya. Perlu ada assessment apakah ada pungli-pungli lain yang juga terjadi dibeberapa kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan publik.

Hal ini bisa dimanfaatkan untuk membersihkan birokrasi dari upaya culas dan demi menaikkan pelayanan publik yang masih banyak dikeluhkan masyarakat. Setidaknya Rudy mampu menunjukkan selama ini posisinya tidak sekedar ban serep namun juga memegang peran penting. Beri target pada pejabat terkait kapan penyelesaian kedua masalah tersebut agar masyarakat masih memberi kepercayaan dan tidak merasakan perbedaan antara saat dijabat Jokowi dengan dijabat Rudy

0 komentar:

Posting Komentar