Kemampuan belanja daerah salah satunya dipengaruhi oleh tinggi rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan PAD yang cukup tinggi akan dapat melaksanakan program pembangunan di daerah sehingga secara langsung maupun tidak mendorong atau mendongkrak kesejahteraan masyarakat. Sayangnya masih banyak pemerintah daerah tak mampu mengoptimalkan sumberdaya-sumberdaya untuk dioptimalkan. Akibatnya tingkat ketergantungan pada dana pusat cukup tinggi.
Pemerintah pusat juga tak kunjung memiliki formula untuk merangsang daerah membuat kreasi optimalisasi PAD tanpa banyak membebani masyarakat. Yang paling sering dilakukan adalah merubah Perda yang berkaitan dengan pajak maupun retribusi daerah. Kenapa demikian? Karena meningkatkan pajak dan retribusi daerah adalah cara termudah mengoptimalisasi PAD. Padahal ada banyak cara yang bisa dilakukan agar beban masyarakat tidak bertambah.
Sebut saja misalnya membuat sistem menejemen PAD yang transparan dan akuntabel, memetakan potensi pendapatan bagi pengusaha, menyediakan insentif bagi usahawan untuk berinvestasi serta beragam cara lainnya. Tetapi langkah ini dianggap sulit dan butuh ekstra kerja keras untuk membuat inovasi. Oleh karenanya banyak daerah pajak maupun retribusinya bisa dibilang sangat rendah. Hal ini membuat kita prihatin sebab birokrasi sudah digaji negara dan disisi lain, tak ada terobosan baru dalam hal pendapatan.
Di Kabupaten Klaten, kontribusi dari 2 sumber pendapatan bisa dibilang sangat kecil terutama periode 2007 hingga 2011. Retribusi dan pajak daerah Kabupaten Klaten tidak sampai 5 persen, sebuah hasil yang sangat memprihatinkan. Bila dilihat letak geografis, potensi maupun sumberdaya yang dimiliki harusnya mereka bisa menggenjot pendapatan daerah bisa diatas 5 persen. Sayangnya tak ada inovasi yang cukup berarti mendongkrak PAD.
Tahun 2007, PAD Klaten mencapai Rp 40 M dari total pendapatan sebesar Rp 845 M. Tahun 2008 meningkat menjadi Rp 51 M dari 946 M. Setahun berikutnya (2009) mendapat kontribusi PAD sebesar Rp 59 M dari Rp 955 M. Tahun 2010 pemasukan daerah mencapai Rp 1 T dengan PAD senilai Rp 71 M dan tahun ini direncanakan PAD menembus angka Rp 65 M dari Rp 1,2 T. Sebuah selisih yang tidak sebanding dengan total pendapatan yang direncanakan.
Lantas berapa pemasukan dari retribusi dan pajak daerah di PAD? Tahun 2007 untuk retribusi hanya menyumbang Rp 10 M dan pajak senilai Rp 12 M atau 1,20 persen dan 1,53 persen dari total pendapatan. Kemudian 2008, retribusi meraih Rp 12 M (1,27 persen) dan pajak mendapat pemasukan Rp 15 M (1,66) persen. Tahun 2009, retribusi menyumbang Rp 12 M (1,3 persen) dan pajak hanya Rp 19 M (2 persen) saja.
Tahun 2010, retribusi menembus Rp 13 M (1,36 persen) sedangkan pajak memperoleh Rp 20 M (2 persen). Tahun 2011, retribusi mendapat pemasukan Rp 18 M dan pajak daerah menjadi Rp 24 M. Atas kondisi ini mestinya Sunarna memanggil pejabat terkait untuk tahu problem dilapangan. Instansi penarik retribusi ataupun pajak penting digali informasinya kenapa pemasukan dari lapangan tidak bisa ditingkatkan lagi. Tanpa campur tangan bupati, SKPD yang memiliki kewenangan penarikan retribusi dan pajak tidak akan berubah.
Keterangan : Dalam juta
Sumber : www.kemenkeu.go.id (diolah)
0 komentar:
Posting Komentar