Kamis, 22 Desember 2011

Catatan Perjalanan Jokowi Hingga Desember 2011

Siapa yang tak kenal Joko Widodo, Walikota Surakarta. Namanya menasional karena kebijakan-kebijakan populisnya. Kepiawaiannya membranding kota mampu menarik investor maupun pemerintah daerah lain belajar pada kota ini. Meski tak cukup memiliki modal pengalaman sebagai politikus dan atau birokrat, gebrakannya patut diacungi jempol. Sudah beragam penghargaan yang dia terima baik dari kementrian, majalah, NGO, atau lembaga lainnya.

Solo benar-benar dibranding sedemikian rupa sehingga banyak julukannya sekarang ini. Sebut saja Solo Kota Layak Anak, Solo Kota Vokasi, Solo Kota Taman, Solo Kota Budaya, Solo Kota Hijau, Solo Kota Pariwisata, Solo Kota Keroncong, Solo Kota Karnaval dan sebutan lainnya. Meski banyak sebutan, nyatanya tak banyak yang mempersoalkannya. Padahal tiap branding harus diperkuat dengan bentuk fisik dan perilaku yang mengarah kesana.

Saat ini jangan coba-coba kritik kebijakan Jokowi secara frontal karena bisa menimbulkan reaksi yang besar. Berdasarkan hasil Pilkada 2010, bersama Hadi Rudyatmo mampu meraup 90 persen suara lebih. Hal ini menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat Solo pada sosok ini sangat luar biasa. Benarkah semuanya baik-baik saja? Tidak adakah sedikitpun kekurangan kepemimpinan yang mengusung jargon Berseri Tanpa Korupsi.

Pasar Kleco Pasca Renovasi
Sejak menjabat sebagai Walikota Tahun 2005, perjalanan pemerintahan Kota Surakarta tidak mulus-mulus saja. Ada beberapa sektor yang hingga periode kedua kepemimpinannya sulit dibenahi. Pertama, mengenai Penataan Pedagang Kaki Lima. Memang memindahkan 989 PKL seputar Monumen Banjarsari menjadi momentum besar, prestasi yang menjadi tonggak awal nama Jokowi melambung. Saat ini banyak kantong PKL yang sudah direlokasi ternyata masih saja ada.

Dua tempat yang hingga kini masih ramai PKL yakni di jalan Radjiman dan di belakang UNS. Relokasi yang dilakukan tak membuat mereka benar-benar meninggalkan tempat lamanya. Kedua, penataan pasar tak tuntas menyelesaikan problem pindahnya pedagang oprokan. Memang rata-rata pedagang oprokan ditempatkan dilantai paling atas. Tentu tak banyak masyarakat yang berbelanja di lantai tersebut sehingga mereka meninggalkan tempat itu. Banyak pasar tradisional pasca renovasi, tempat pedagang oprokan tak ada aktivitasnya.

Ketiga, mengatur besaran tarif parkir. Hampir tiap hari ada saja orang mengkomplain tentang tarif parkir di media lokal. Tidak hanya penempatan namun juga tarif yang dikenakan. Berdasarkan Perda, harusnya tarif parkir cuma Rp 500 bagi kendaraan roda dua. Prakteknya bisa Rp 1.000 - Rp 2.000 untuk kendaraan roda dua dan Rp 2.000 - Rp 10.000 bagi kendaraan roda empat tergantung dimana parkirnya. Tarif untuk kendaraan roda dua Rp 2.000 ada di mall dan untuk hari Sabtu-Minggu.

Keempat, reformasi birokrasi terutama dalam memantapkan slogan berseri tanpa korupsi. Meski mengusung anti korupsi, bukan berarti semua lancar. Ada beberapa kasus yang menandakan reformasi birokrasi dibidang pemberantasan korupsi tak optimal. Kasus korupsi dana proyek pembangunan pusat jajan malam dengan memakai kunker fiktif menjadi ujian pertama bagi Jokowi. Saat kemunculan kasus ini, Jokowi menyatakan akan memback-up tetapi akhirnya Kepala Disperindag "dilepas".

Penulis mempersepsikan Walikota tidak percaya yang dilakukan bawahannya. Namun ketika tahu kejadian sebenarnya maka dia rela melepaskannya. Cukup? belum. Tahun 2007-2008 ternyata ada dugaan pungutan liar di Terminal Tirtonadi yang dilakukan oleh Kepala Terminal. Dan tahun 2011 ini ada soal pertamanan (baca Disini) dan Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga tentang penggunaan seragam dinas yang diindikasikan "bermasalah".

Beberapa catatan diatas perlu benar-benar diperhatikan oleh Walikota supaya sisa perjalanan pemerintahannya yang masih 3,5 tahun akan lancar. Agar citra yang sudah baik tidak terkotori dengan problem yang tidak diinginkan. Dia harus memiliki strategi yang tepat sehingga tidak ada lagi bawahannya yang mencoba main-main. Karena nama baik yang disandang kadang tak berguna begitu pasca menjabat (refleksi kasus Untung Wiyono/Sragen dan Prof DR I Gede Winasa/Jembrana).

0 komentar:

Posting Komentar