Kesehatan merupakan salah satu hak dasar warga negara yang dilindungi oleh Undang-undang. Namun pembiayaan kesehatan dasar masyarakat di Indonesia nampaknya masih diabaikan oleh negara cq pemerintah daerah. Terbukti masih banyaknya pemberitaan tentang warga tak mampu yang tetap saja tidak bisa berobat secara gratis. Padahal kampanye kementrian kesehatan di media telah menyebar luas dan dilihat oleh semua orang.
Rumusan Hak Ekosob merupakan turunan dari rumusan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB, Artikel 25, yang disahkan MU PBB pada 1948. “Semua orang berhak untuk mendapat standar hidup yang layak dalam kesehatan dan kesejahteraan bagi dirinya dan keluarganya meliputi makanan, pakaian, rumah, perawatan medis dan jasa pelayanan masyarakat serta bebas dari pengangguran, rasa aman dari penyakit, cacat, menjanda/menduda, usia uzur /tua atau ketiadaan mata pencarian di luar kendalinya".
Konvenan ini telah diratifikasi dalam UU No 11 Tahun 2005 dan semestinya negara serta pemerintah daerah memahami. Kenyataannya, peluncuran Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) tak dapat berjalan optimal. Solo, sebagai salah satu Kota yang berusaha mengoptimalkan perlindungan kesehatan bagi warganya juga meluncurkan Program Kesehatan Masyarakat Solo atau lebih dikenal dengan PKMS. Saat ini sudah berjalan selama 3 tahun.
Pada kenyataannya, masih banyak masyarakat yang belum bisa diakomodir dalam layanan tersebut. Meski sudah ada penggolongan kelas silver dan gold, tetap saja pelayanan tak optimal. Rumah sakit daerah maupun swasta melayani dengan setengah hati. Sementara itu tiap tahun alokasi anggarannya terus membengkak. Tahun 2009 dianggarkan sebesar Rp 10 M, kemudian naik menjadi Rp 12 M ditahun 2010 dan sekarang menjadi Rp 16 M (2011).
Dalam evaluasi 2 tahun perjalanan PKMS, pemerintah dan DPRD menilai layanan tidak maksimal. Maka dari itu mereka kemudian merekomendasikan adanya RSUD sendiri. Keputusan ini dilandaskan adanya diskriminasi layanan. Nampaknya jalan keluar ini dibahas tanpa melibatkan stakeholders yang mendapat pelayanan sehingga terkesan mencari jalan pintas saja.
Dalam Diskusi Kelompok Terbatas (DKT) Bidang Kesehatan yang diselenggarakan Pattiro Solo tanggal 10 Februari 2011 (baca : http://masfiek.wordpress.com/2011/02/23/pkms-yang-masih-perlu-ditingkatkan-kinerjanya/), terungkap kelemahan pengelolaan PKMS tidak pada aspek pihak lain. Namun lebih pada komitmen membangun layanan pada warga miskin. Masih adanya diskriminasi layanan, penolakan pasien hingga alasan kamar habis mewarnai diskusi.
Ada beberapa modus yang diungkapkan oleh peserta diskusi yakni transparansi layanan, SPM layanan serta kuota masyarakat miskin. Untuk transparansi layanan dapat ditemukan pada soal apakah kamar kelas 3 benar-benar sudah habis ketika pengguna PKMS masuk? kenyataannya ada banyak RS Swasta hanya menyediakan 3-7 bed saja untuk layanan PKMS. Kemudian klaim jenis obat, sering yang dimasukkan merupakan obat bukan kategori PKMS.
Masyarakat tidak diberi informasi secara jelas bagaimana menggunakan layanan, jenis obat yang tersedia, stok kamar/bed kelas 3 dan lain sebagainya. Untuk SPM layanan, tak ada standart berapa lama mereka dapat dilayani dengan segera, dokter siapa yang melayani dan adanya petugas khusus bagi warga miskin agar di RS tersebut tak kebingungan.
Sedangkan terkait kuota masyarakat miskin, banyak masyarakat yang tidak tinggal di Solo mendapat PKMS. Hal ini terkait validasi data RT yang tak tegas. Merasa masih ada family ber KTP Solo, maka meski sudah tak tinggal di Solo tetap saja di data. Pemkot harus memiliki data by name, by address dan by activity mereka yang mendapat PKMS. Bila tidak, berapapun dana yang dianggarkan tentu tak akan cukup mengcover layanan kesehatan.
Terakhir, tak adanya bagian pengaduan pelayanan PKMS sehingga masyarakat kesulitan menyelesaikan problem mereka dilapangan. Semestinya ada bagian khusus yang melayani klaim ini sehingga problem yang dihadapi masyarakat dapat diinventarisasi untuk dicarikan jalan keluar. Akibat tidak adanya bagian ini, wajar saja membengkaknya PKMS diatasi dengan mendirikan RSUD. Kalau demikian, benar adanya kalimat "Jaka sembung bawa golok".....
0 komentar:
Posting Komentar