Walikota memahami benar, tak adanya potensi alam maupun kondisi geografis yang sempit sebagai area pabrik serta kawasan alam yang layak jual berupaya membuat terobosan untuk mendongkrak PAD. Dia memahami benar bahwa Solo memiliki keragaman budaya yang perlu terus dipromosikan keluar daerah. Dia tak mau anggaran dihabiskan hanya untuk promosi keluar namun menciptakan infrastruktur sebagai kesiapan menyambut wisatawan ke daerahnya.
Saat ujicoba bus tingkat 20 Februari lalu |
Kita lihat saja, untuk pengadaan bus tingkat senilai Rp 1,8 M dan operasionalnya nanti akan disewakan seharga Rp 800ribu untuk 1 kali keliling kota atau Rp 20.000 perpenumpang. Cukup lama memang akan mencapai BEP pembelian. Tetapi dampak lanjutan dari wisatawan yang datang diharapkan akan berbelanja dan mengeluarkan uang membeli sesuatu di Solo.
Sedangkan harga pembelian railbus sebesar Rp 16 miliar dan akan dioperasikan secara reguler Solo-Wonogiri. BEP railbus ini akan jauh lebih lama karena penumpang hanya dikenakan tarif Rp 2.500/penumpang. Sehari railbus ini hanya akan berjalan 1 trip saja sehingga diperkirakan pemasukannya mencapai Rp 800.000 kotor (dengan asumsi 160 kursi terisi pas). Biaya itu masih dikurangi operasional, pembagian dengan Perumka serta biaya lainnya.
Seperti yang kita tahu, sebelumnya jalur kereta api Solo dalam kota maupun ke Wonogiri telah digunakan untuk Sepur Kluthuk Jaladara dan Punakawan. Punakawan telah lama tak beroperasi dan Jaladara semakin sepi peminat karena biaya operasional yang kelewat mahal. Oleh sebab itu, peluncuran 2 moda ini harus diawasi oleh masyarakat karena menggunakan APBD yang cukup tinggi. Harga 2 moda ini senilai 1 tahun program PKMS (Program Kesehatan Masyarakat Surakarta) atau bahkan lebih tinggi di Tahun 2010.
Railbus Solo - Wonogiri yang siap diluncurkan |
Masyarakat hendaknya tak terlena untuk lepas perhatian atas pemasukan dari program peluncuran ini. Hingga sekarang tak ada penjelasan sama sekali berapa tahun BEP, berapa rupiah target pemasukan tahunan dan apa saja dampak yang dapat diterima masyarakat serta apakah mereka dapat merasakan dampak tersebut. Disisi lain, bila kita cermati, jenis angkutan massal lainnya seperti bus dan angkot serta transportasi informal sebut saja becak dan ojek semakin merana.
Mereka kian terjepit dan kesulitan mencari penumpang. Meningkatnya wisatawan yang datang ke Solo ternyata tak juga menetes ke mereka karena kebanyakan wisatawan lebih suka berombongan menyewa bus atau ditangani travel agent. Lantas, biaya-biaya pengeluaran yang besar bila tak juga berimbas ke masyarakat marginal, layakkah itu disebut membangun kota? Akankah masyarakat kecil kembali menjadi korban? kita lihat saja nanti.
Kenapa begitu? Selalu rakyat kecil yang jadi korban
Benar dan tulisan ini sebagai salah satu masukan bagi Pemkot Solo