Belum lama bupati dan wakil bupati Wonogiri dilantik, kini muncul potensi polemik baru di Kota Gaplek itu. Gara-garanya tentang rencana Pengurus Daerah Persatuan Guru Republik Indonesia (PD PGRI) Wonogiri yang akan melakukan pengembangan gedung baru. Gedung itu direncanakan menelan biaya Rp 3,9 M dan akan meminta partisipasi bagi kalangan guru maupun non guru (Solopos 23 Feb 2011).
Keputusan pengembangan gedung PGRI dilandaskan atas keputusan Konfercab PGRI Tahun 2009 lalu. Adapun besarnya pungutan untuk kategori non guru yaitu
a. Golongan I sebesar Rp 5.000
b. Golongan II sebesar Rp 10.000
c. Golongan III sebesar Rp 15.000
d. Golongan IV sebesar Rp 25.000
sementara itu untuk kategori guru terbagi atas
a. Guru non sertifikasi Rp 15.000
b. Guru sertifikasi Rp 25.000
Meskipun keputusan PD PGRI Wonogiri ini sudah disebarluaskan melalui surat edaran namun banyak kalangan yang menolaknya. Dalam surat edaran tersebut dijelaskan pungutan akan dilakukan selama 24 bulan. Setidaknya berdasar data jumlah guru negeri maupun swasta Tahun 2007/2008 saja sudah mencapai 10.927 orang (http://www.wonogirikab.go.id/home.php?mode=content&id=208) dari 1.450 sekolah TK hingga SMU/K.
Bila diasumsikan tenaga non guru tiap sekolah ada 4 (perpustakaan, TU, bendahara, pesuruh) orang saja maka jumlah orang yang dipungut mencapai 16.727 orang. Bila dirata-rata pungutan Rp 10.000/orang maka dalam satu tahun terkumpul Rp 2M lebih atau mencapai Rp 4 M untuk kurun 2 tahun. Padahal kita tahu data yang kita pakai masih data 3 tahun lalu serta jumlah tenaga non guru bisa lebih dari 5 ribu orang.
Beberapa masalah yang perlu kita cermati adalah pertama, apakah pengembangan gedung itu relevan dengan kenaikan prestasi anak didik? Kantor sekretariat memang perlu dibuat yang representatif namun layakkah bila bangunan itu memakan dana Rp 3,9 M? apalagi disertai dengan fasilitas penginapan? Apakah di Kota Wonogiri tidak ada gedung pertemuan serta penginapan yang layak?
Kedua, proses sertifikasi masih saja terus berlangsung. Artinya guru yang terkena potongan Rp 25.000/bulan jumlahnya akan naik sehingga menaikkan jumlah total dari anggaran yang dipungut. Ketiga, Fasilitas sekolah-sekolah serta kapasitas guru di Wonogiri sendiri terutama daerah pedalaman seperti Kecamatan Eromoko, Pracimantoro, Paranggupito masih banyak yang memprihatinkan. Seharusnya PGRI lebih memikirkan bagaimana meningkatkan kapasitas tersebut.
Keempat, bila gedung tersebut milik bersama komunitas pendidikan di Wonogiri tentu kalangan pendidik dapat berupaya bersama-sama mencarikan anggaran baik ke APBD kabupaten, propinsi maupun pada pemerintah pusat. Bila dimintakan partisipasi, idealnya guru dengan sertifikasi saja yang diminta berkontribusi karena memang gaji yang didapat sudah cukup besar. Untuk yang non sertifikasi apalagi non guru sebaiknya tidak dikenakan pungutan.
Komunitas pendidikan bisa saja mencari anggaran ke pihak ketiga misalnya perusahaan seperti jamu air mancur, otobus atau membuat program terobosan yang inovatif. Tindakan ini jauh lebih masuk akal dan tidak membebani dibandingkan dengan melakukan pungutan pada kalangan pendidik maupun non pendidikan. Pemda saja jauh mengurangi belanja daerah untuk belanja modal pada Tahun 2010 yang hanya Rp 79 M dibanding tahun sebelumnya yang mencapai Rp 130 M.
Sampai saat ini, bupati belum mengeluarkan pernyataan apapun. Ada baiknya kepala daerah segera turun tangan supaya kalangan pendidik tidak menjadi resah. Apalagi 4 bulan ke depan memasuki bulan ujian nasional. Artinya kurun waktu tersebut akan digunakan para guru untuk konsentrasi meningkatkan prestasi anak. Tanpa campur tangan, bisa saja para pendidik tidak bisa konsentrasi dalam memberi pengajaran dan hasil UN tidak menutup kemungkinan akan jeblok.
Keputusan pengembangan gedung PGRI dilandaskan atas keputusan Konfercab PGRI Tahun 2009 lalu. Adapun besarnya pungutan untuk kategori non guru yaitu
a. Golongan I sebesar Rp 5.000
b. Golongan II sebesar Rp 10.000
c. Golongan III sebesar Rp 15.000
d. Golongan IV sebesar Rp 25.000
sementara itu untuk kategori guru terbagi atas
a. Guru non sertifikasi Rp 15.000
b. Guru sertifikasi Rp 25.000
Waduk Gajah Mungkur yang potensinya masih bisa dioptimalkan |
Bila diasumsikan tenaga non guru tiap sekolah ada 4 (perpustakaan, TU, bendahara, pesuruh) orang saja maka jumlah orang yang dipungut mencapai 16.727 orang. Bila dirata-rata pungutan Rp 10.000/orang maka dalam satu tahun terkumpul Rp 2M lebih atau mencapai Rp 4 M untuk kurun 2 tahun. Padahal kita tahu data yang kita pakai masih data 3 tahun lalu serta jumlah tenaga non guru bisa lebih dari 5 ribu orang.
Beberapa masalah yang perlu kita cermati adalah pertama, apakah pengembangan gedung itu relevan dengan kenaikan prestasi anak didik? Kantor sekretariat memang perlu dibuat yang representatif namun layakkah bila bangunan itu memakan dana Rp 3,9 M? apalagi disertai dengan fasilitas penginapan? Apakah di Kota Wonogiri tidak ada gedung pertemuan serta penginapan yang layak?
Kedua, proses sertifikasi masih saja terus berlangsung. Artinya guru yang terkena potongan Rp 25.000/bulan jumlahnya akan naik sehingga menaikkan jumlah total dari anggaran yang dipungut. Ketiga, Fasilitas sekolah-sekolah serta kapasitas guru di Wonogiri sendiri terutama daerah pedalaman seperti Kecamatan Eromoko, Pracimantoro, Paranggupito masih banyak yang memprihatinkan. Seharusnya PGRI lebih memikirkan bagaimana meningkatkan kapasitas tersebut.
Salah satu sudut kota (www.soloaja.com/v2/forum/18-wonogiri-sukses) |
Keempat, bila gedung tersebut milik bersama komunitas pendidikan di Wonogiri tentu kalangan pendidik dapat berupaya bersama-sama mencarikan anggaran baik ke APBD kabupaten, propinsi maupun pada pemerintah pusat. Bila dimintakan partisipasi, idealnya guru dengan sertifikasi saja yang diminta berkontribusi karena memang gaji yang didapat sudah cukup besar. Untuk yang non sertifikasi apalagi non guru sebaiknya tidak dikenakan pungutan.
Komunitas pendidikan bisa saja mencari anggaran ke pihak ketiga misalnya perusahaan seperti jamu air mancur, otobus atau membuat program terobosan yang inovatif. Tindakan ini jauh lebih masuk akal dan tidak membebani dibandingkan dengan melakukan pungutan pada kalangan pendidik maupun non pendidikan. Pemda saja jauh mengurangi belanja daerah untuk belanja modal pada Tahun 2010 yang hanya Rp 79 M dibanding tahun sebelumnya yang mencapai Rp 130 M.
Sampai saat ini, bupati belum mengeluarkan pernyataan apapun. Ada baiknya kepala daerah segera turun tangan supaya kalangan pendidik tidak menjadi resah. Apalagi 4 bulan ke depan memasuki bulan ujian nasional. Artinya kurun waktu tersebut akan digunakan para guru untuk konsentrasi meningkatkan prestasi anak. Tanpa campur tangan, bisa saja para pendidik tidak bisa konsentrasi dalam memberi pengajaran dan hasil UN tidak menutup kemungkinan akan jeblok.