Rabu, 02 November 2016

Cara Efektif Pemda Hapus Pungli

Pemberitaan awal tahun ajaran baru sekolah yakni bulan Juli-Agustus seringkali diwarnai dengan berita soal pungutan di sekolah. Bentuknya bisa bermacam-macam. Mulai dari sumbangan pembangunan, pengadaan buku pelajaran, seragam sekolah hingga penahanan ijazah. Mengapa kejadian ini berulang kali muncul dimedia? Apakah sekolah, dinas pendidikan, DPRD hingga kepala daerah tidak mengetahui bahwa berbagai pemberitaan itu selalu muncul?

Tentu yang dimaksudkan penulis merupakan kejadian di sekolah negeri mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas/umum/kejuruan. Seperti baru-baru ini muncul pemberitaan pengaduan pengadaan seragam sekolah dengan harga fantastis atau sumbangan pengembangan sekolah (SPS) yang secara hukum bersifat pungutan. Awam banyak tidak mengerti beda sumbangan dengan pungutan. Tentu bedanya bukan di kata “Sumbangan” atau “Pungutan” yang dicantumkan dalam surat edaran pada siswa atau disampaikan pada saat rapat wali murid.

Bagi sekolah negeri aturan tentang larangan pungutan pada pendidikan dasar (SD dan SMP) jelas tercantum dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar. Disebutkan pada pasal 9 ayat (1) yakni Satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah, dan/atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan.

Apa pengertian sumbangan dan pungutan? Pada pasal 1 ayat 2 dijelaskan Pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orangtua/wali  secara langsung yang bersifat wajib,  mengikat,  serta jumlah  dan  jangka  waktu  pemungutannya  ditentukan  oleh  satuan pendidikan dasar. Sementara sumbangan (pasal 1 ayat 3) adalah Sumbangan  adalah  penerimaan  biaya pendidikan  baik  berupa  uang dan/atau barang/jasa  yang  diberikan  oleh  peserta  didik,  orangtua/wali, perseorangan atau lembaga lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat  sukarela,  tidak memaksa,  tidak mengikat,  dan tidak ditentukan oleh  satuan  pendidikan  dasar  baik  jumlah  maupun  jangka  waktu pemberiannya.

Dengan demikian bedanya jelas pada sifatnya suka rela, tidak memaksa, tidak mengikat dan tidak ditentukan jumlah maupun jangka waktu. Bila merujuk pada banyak praktek yang terjadi disekolah-sekolah negeri, mudah ditemukan terjadi praktek pungutan tetapi dalihnya sumbangan. Kenapa pemerintah mendorong pendidikan gratis tanpa pungutan? Sebab biaya operasional sekolah sudah disediakan oleh pemerintah pusat besarnya Rp 800.000 (SD), Rp 1.000.000 (SMP) dan Rp 1.200.000 (SMP). Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tersebut dihitung tiap anak pertahun. Artinya sekolah tidak perlu lagi menarik sumbangan bahkan pungutan sekolah.

Secara hukum Permendikbud tersebut tidak berlaku bagi pendidikan menengah (SMA/SMK). Artinya sekolah SMA dan sederajat dapat menarik pungutan pada siswa meski tidak boleh sembarangan. Ada aturan lain yang membatasi rambu-rambu untuk menarik pungutan. Pada PP 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan pasal 52 setidaknya tercantum 13 item syarat. Diantaranya harus berdasarkan perencanaan, diumumkan transparan, dibukukan khusus dan terpisah, tidak dipngut dari siswa miskin, tidak dikaitkan dengan persyaratan akademik dan lain sebagainya.

Pengumuman rencana kegiatan (RKAS) biasanya dilakukan dalam rapat pleno komite sekolah bersama orang tua siswa pada awal tahun ajaran. Pihak sekolah harus membagikan Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah. Faktanya, beberapa sekolah (SD hingga SMA) menarik pungutan saat pengumuman siswa diterima disebuah sekolah alias sebelum rapat pleno komite sekolah. Mekanisme ini menyalahi aturan, Cukup banyak dalih yang disampaikan sekolah agar orang tua siswa mau menyetor sejumlah nominal tertentu.

Modus Pungli di Sekolah

Bila kita jeli, ada beragam modus pungutan yang jamak terjadi disatuan pendidikan. Saya menuliskan sebelumnya setidaknya ada 8 modus pungutan disekolah. Ke 8 modus tersebut yaitu PPDB, MOS, peningkatan pembelajaran, persiapan tes/ujian, tahun ajaran baru, penambahan fasilitas sekolah, kegiatan jeda semester, kegiatan akhir tahun/lulusan. Dengan modus seperti itu dapat kita lihat dalam 1 tahun ajaran betapa banyaknya kesempatan sekolah untuk menarik pungutan yang dilarang (bagi pendidikan dasar) maupun diatur secara ketat (bagi pendidikan menengah) berulang terjadi.

Lantas, apa yang bisa dilakukan kepala daerah agar kasus-kasus sumbangan dan pungutan yang peluang terulang kembali bisa dihentikan? Setidaknya bisa diminimalisir? Ada 5 langkah strategis bagi kepala daerah mencegah kejadian berulang. Pertama, segera keluarkan Surat Keputusan tentang larangan sumbangan maupun pungutan bagi sekolah negeri. Surat keputusan ini merupakan turunan teknis baik dari Permendikbud nomor 44 Tahun 2012 maupun PP nomor 48 Tahun 2008.

Kedua, bangun system penyusunan RKAS maupun APBS secara elektronik (e-RKAS dan e-APBS) yang terintegrasi dan dikonsolidasikan oleh Dinas Pendidikan. Dokumen inipun terbuka bagi publik sehingga siapapun bisa turut mengawasi rencana sekolah. Sehingga ketika ada sumbangan maupun pungutan sekolah, orang tua siswa yang tidak mendapatkan RKAS dan APBS bisa cek secara online. Ketiga, Pemda membuka kotak pengaduan sehingga masyarakat dapat mengadukan kasus-kasus yang muncul disekolah.

Keempat, kepala daerah memberi sanksi bagi kepala sekolah yang terlibat sumbangan maupun pungutan yang tidak sesuai prosedur serta memberi reward bagi kepala sekolah atau masyarakat. Terakhir, mendorong sekolah membuka ruang komunikasi antara sekolah, komite sekolah maupun paguyuban orang tua siswa. Tata Kelola Sekolah berdasarkan pasal 51 ayat (1) UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”.  Dalam penjelasan pasal diterangkan bahwa Yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan.

Cara Berantas Pungli
Dengan demikian kasus-kasus sumbangan dan pungutan tidak lagi mewarnai pendidikan kita. Ada cukup banyak contoh kepala daerah yang menerapkan terobosan bantuak agar orang tua siswa tidak dikenai pungutan atau meringankan beban orang tua atas pendidikan. Ada yang mengeluarkan kebijakan BOS daerah (seperti BPMKS di Solo, KJP di Jakarta), ada yang melarang jual beli buku Latihan/Lembar Kerja Siswa (Purwakarta Jabar) dan lainnya. Contoh lebih bagus yaitu di Sukoharjo, yang membebaskan biaya pendidikan 12 tahun.

Kabupaten Sukoharjo mampu menjalankan pembelajaran hanya dengan mengandalkan BOS dari pemerintah pusat baik untuk SD hingga SMA. Sedangkan untuk SMK, Pemda mengucurkan bantuan Rp 250.000/siswa/tahun. Silahkan di cek, di Kabupaten Sukoharjo sama sekali tidak ada sumbangan/pungutan sekolah negeri dan tidak ditemukan uang pembangunan. Hanya seragam olahraga yang dibeli di sekolah. Orang tua bebas membeli seragam diluar sesuai dengan kemampuannya. Apakah sekolah tanpa sumbangan dan pungutan ini tidak berprestasi? Lihat saja dalam Ujian Nasional 2016. SMKN 1 Sukoharjo terbaik ke V, SMAN 1 jurusan IPS terbaik ke II, serta SMAN 1 jurusan bahasa terbaik I se Jateng.

Contoh diatas menggambarkan bahwa pendidikan yang membebaskan sumbangan maupun pungutan belum tentu tidak berkualitas. Pendidik telah mendapat tunjangan sertifikasi atau tambahan penghasilan baik dari APBN maupun APBD sehingga tidak ada lagi alasan konsentrasi mengajarnya terpecah karena kurangnya kesejahteraan. Sekolah juga tidak bisa beralasan kemampuan anak-anak tidak bisa meningkat karena tidak bisa menambah jam pelajaran. Itu dalih kuno.

0 komentar:

Posting Komentar