Tentu yang dimaksudkan
penulis merupakan kejadian di sekolah negeri mulai dari sekolah dasar hingga
sekolah menengah atas/umum/kejuruan. Seperti baru-baru ini muncul pemberitaan
pengaduan pengadaan seragam sekolah dengan harga fantastis atau sumbangan pengembangan
sekolah (SPS) yang secara hukum bersifat pungutan. Awam banyak tidak mengerti
beda sumbangan dengan pungutan. Tentu bedanya bukan di kata “Sumbangan” atau
“Pungutan” yang dicantumkan dalam surat edaran pada siswa atau disampaikan pada
saat rapat wali murid.
Bagi sekolah negeri aturan
tentang larangan pungutan pada pendidikan dasar (SD dan SMP) jelas tercantum
dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya
Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar. Disebutkan pada pasal 9 ayat (1) yakni
Satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah, dan/atau
pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan.
Apa pengertian sumbangan dan pungutan? Pada pasal 1 ayat 2
dijelaskan Pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan
baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau
orangtua/wali secara langsung yang
bersifat wajib, mengikat, serta jumlah
dan jangka waktu
pemungutannya ditentukan oleh
satuan pendidikan dasar. Sementara sumbangan (pasal 1 ayat 3) adalah
Sumbangan adalah penerimaan
biaya pendidikan baik
berupa uang dan/atau
barang/jasa yang diberikan
oleh peserta didik,
orangtua/wali, perseorangan atau lembaga lainnya kepada satuan pendidikan
dasar yang bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat, dan tidak ditentukan oleh satuan
pendidikan dasar baik
jumlah maupun jangka
waktu pemberiannya.
Dengan
demikian bedanya jelas pada sifatnya suka rela, tidak memaksa, tidak mengikat
dan tidak ditentukan jumlah maupun jangka waktu. Bila merujuk pada banyak
praktek yang terjadi disekolah-sekolah negeri, mudah ditemukan terjadi praktek
pungutan tetapi dalihnya sumbangan. Kenapa pemerintah mendorong pendidikan
gratis tanpa pungutan? Sebab biaya operasional sekolah sudah disediakan oleh
pemerintah pusat besarnya Rp 800.000 (SD), Rp 1.000.000 (SMP) dan Rp 1.200.000
(SMP). Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tersebut dihitung tiap anak pertahun.
Artinya sekolah tidak perlu lagi menarik sumbangan bahkan pungutan sekolah.
Secara
hukum Permendikbud tersebut tidak berlaku bagi pendidikan menengah (SMA/SMK).
Artinya sekolah SMA dan sederajat dapat menarik pungutan pada siswa meski tidak
boleh sembarangan. Ada aturan lain yang membatasi rambu-rambu untuk menarik
pungutan. Pada PP 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan pasal 52
setidaknya tercantum 13 item syarat. Diantaranya harus berdasarkan perencanaan,
diumumkan transparan, dibukukan khusus dan terpisah, tidak dipngut dari siswa
miskin, tidak dikaitkan dengan persyaratan akademik dan lain sebagainya.
Pengumuman
rencana kegiatan (RKAS) biasanya dilakukan dalam rapat pleno komite sekolah
bersama orang tua siswa pada awal tahun ajaran. Pihak sekolah harus membagikan
Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah. Faktanya, beberapa sekolah (SD hingga
SMA) menarik pungutan saat pengumuman siswa diterima disebuah sekolah alias
sebelum rapat pleno komite sekolah. Mekanisme ini menyalahi aturan, Cukup
banyak dalih yang disampaikan sekolah agar orang tua siswa mau menyetor
sejumlah nominal tertentu.
Modus Pungli di Sekolah
Bila kita jeli, ada beragam
modus pungutan yang jamak terjadi disatuan pendidikan. Saya menuliskan sebelumnya setidaknya ada 8 modus pungutan disekolah. Ke 8 modus tersebut yaitu PPDB, MOS,
peningkatan pembelajaran, persiapan tes/ujian, tahun ajaran baru, penambahan
fasilitas sekolah, kegiatan jeda semester, kegiatan akhir tahun/lulusan. Dengan
modus seperti itu dapat kita lihat dalam 1 tahun ajaran betapa banyaknya
kesempatan sekolah untuk menarik pungutan yang dilarang (bagi pendidikan dasar)
maupun diatur secara ketat (bagi pendidikan menengah) berulang terjadi.
Lantas, apa yang bisa
dilakukan kepala daerah agar kasus-kasus sumbangan dan pungutan yang peluang
terulang kembali bisa dihentikan? Setidaknya bisa diminimalisir? Ada 5 langkah
strategis bagi kepala daerah mencegah kejadian berulang. Pertama, segera
keluarkan Surat Keputusan tentang larangan sumbangan maupun pungutan bagi
sekolah negeri. Surat keputusan ini merupakan turunan teknis baik dari
Permendikbud nomor 44 Tahun 2012 maupun PP nomor 48 Tahun 2008.
Kedua, bangun system
penyusunan RKAS maupun APBS secara elektronik (e-RKAS dan e-APBS) yang
terintegrasi dan dikonsolidasikan oleh Dinas Pendidikan. Dokumen inipun terbuka
bagi publik sehingga siapapun bisa turut mengawasi rencana sekolah. Sehingga
ketika ada sumbangan maupun pungutan sekolah, orang tua siswa yang tidak
mendapatkan RKAS dan APBS bisa cek secara online. Ketiga, Pemda membuka kotak
pengaduan sehingga masyarakat dapat mengadukan kasus-kasus yang muncul
disekolah.
Keempat, kepala daerah memberi sanksi bagi kepala sekolah
yang terlibat sumbangan maupun pungutan yang tidak sesuai prosedur serta
memberi reward bagi kepala sekolah atau masyarakat. Terakhir, mendorong sekolah
membuka ruang komunikasi antara sekolah, komite sekolah maupun paguyuban orang
tua siswa. Tata Kelola Sekolah berdasarkan pasal 51 ayat (1) UU No 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menjelaskan bahwa “Pengelolaan
satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah/madrasah”.
Dalam penjelasan pasal diterangkan bahwa Yang dimaksud dengan manajemen
berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada
satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu
oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan.
Cara Berantas Pungli
Dengan demikian
kasus-kasus sumbangan dan pungutan tidak lagi mewarnai pendidikan kita. Ada
cukup banyak contoh kepala daerah yang menerapkan terobosan bantuak agar orang
tua siswa tidak dikenai pungutan atau meringankan beban orang tua atas
pendidikan. Ada yang mengeluarkan kebijakan BOS daerah (seperti BPMKS di Solo,
KJP di Jakarta), ada yang melarang jual beli buku Latihan/Lembar Kerja Siswa
(Purwakarta Jabar) dan lainnya. Contoh lebih bagus yaitu di Sukoharjo, yang
membebaskan biaya pendidikan 12 tahun.
Kabupaten Sukoharjo
mampu menjalankan pembelajaran hanya dengan mengandalkan BOS dari pemerintah
pusat baik untuk SD hingga SMA. Sedangkan untuk SMK, Pemda mengucurkan bantuan
Rp 250.000/siswa/tahun. Silahkan di cek, di Kabupaten Sukoharjo sama sekali
tidak ada sumbangan/pungutan sekolah negeri dan tidak ditemukan uang
pembangunan. Hanya seragam olahraga yang dibeli di sekolah. Orang tua bebas
membeli seragam diluar sesuai dengan kemampuannya. Apakah sekolah tanpa
sumbangan dan pungutan ini tidak berprestasi? Lihat saja dalam Ujian Nasional
2016. SMKN 1 Sukoharjo terbaik ke V, SMAN 1 jurusan IPS terbaik ke II, serta
SMAN 1 jurusan bahasa terbaik I se Jateng.
Contoh diatas menggambarkan
bahwa pendidikan yang membebaskan sumbangan maupun pungutan belum tentu tidak
berkualitas. Pendidik telah mendapat tunjangan sertifikasi atau tambahan
penghasilan baik dari APBN maupun APBD sehingga tidak ada lagi alasan konsentrasi
mengajarnya terpecah karena kurangnya kesejahteraan. Sekolah juga tidak bisa
beralasan kemampuan anak-anak tidak bisa meningkat karena tidak bisa menambah
jam pelajaran. Itu dalih kuno.
0 komentar:
Posting Komentar