Penerimaan siswa baru atau yang lebh dikenal dengan PPDB (Pendaftaran Peserta Didik Baru) melalui sistem online sudah berlangsung lama. Hal ini menggantikan sistem manual yang merepotkan pendaftar. Setiap daerah memiliki kewenangan menetapkan kebijakan bagaimana mereka akan menerima siswa baru.
Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang menerapkan sistem PPDB online. Ada 2 kebijakan mendasar yang berbeda secara signifikan dibandingkan aturan tahun lalu. Kebijakan tersebut yaitu kuota siswa dari luar kota dikurangi serta tidak ada lagi proses cabut berkas.
Tahun ajaran 2016/2017, alokasi kuota luar kota merosot drastis dari tadinya 20 persen kini tinggal 5 dan 10 persen. "Namun kali ini ada kebijakan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Solo untuk
membatasi penerimaan siswa luar kota tersebut dengan persentase yang
berbeda di sejumlah sekolah. Adanya kebijakan tersebut dengan berbagai
pertimbangan, terutama melihat tingginya minat pendaftar asal Kota Solo
sendiri.
Dia menyebutkan untuk SMAN 1, SMAN 3, SMAN 4, dan SMAN 7, kuota
penerimaan siswa asal luar kota ditetapkan maksimal 5 persen dari daya
tampung sekolah setelah dikurangi kuota siswa dari keluarga miskin
(gakin) dan kuota siswa berprestasi di bidang olah raga." tulis Sekretaris Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Aryo Widyandoko SH MH di laman situs tersebut.
Sementara proses tidak diperbolehkannya cabut berkas tidak diuraikan. Penetapan 2 kebijakan baru ini sebetulnya menciderai keadilan bagi calon siswa yang berasal bukan dari Surakarta. Dikpora sama sekali tidak mengemukakan argumentasi rasional dan mendasar kenapa kuota siswa luar kota berkurang drastis.
Kebijakan ini bukan hanya berdampak kepada calon pendaftar namun juga bagi SMA swasta yang ada di Kota Surakarta. Karena masyarakat akan banyak terserap di sekolah negeri sedang masyarakat luar Kota Surakarta akan lebih memilih sekolah yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Sejarah pembatasan siswa luar kota memang bisa dimengerti.
Yakni bahwa sekolah di Surakarta dibiayai tidak hanya oleh APBN namun juga APBD. Hanya kalau kita mau fair, alokasi APBD masih sangat minim cuma 4,68 persen atau sekitar Rp 506.200/siswa/tahun. Data ini menunjukkan kebijakan pembatasan kuota 5 persen diskriminatif. Dalam UUD 45 pasal 31 ayat 4 disebutkan alokasi APBN maupun APBD minimal 20 persen.
Bila mendasarkan UUD 45 tersebut, dengan hanya mampu memberikan 4,6 persen saja berarti semestinya kuota luar kota solo tersedia sebanyak 75 %. Kenapa? Karena mayoritas kebutuhan biaya sekolah di Surakarta dibiayai oleh APBN. Bila sebuah daerah sudah memenuhi kewajiban UUD 45 mengalokasikan anggaran 20 persen, silahkan saja kuota luar kota bisa dihapus.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, harus segera campur tangan dalam soal ini. Kasus ini tidak hanya di Kota Surakarta dan banyak di wilayah lain terjadi. Faktanya banyak terdapat sebuah kawasan aksesnya lebih dekat dengan kabupaten/kota lain dibanding dengan ibu kota kabupaten/kota sendiri sehingga perlu dipertimbangkan secara matang. Artinya kebijakan pembatasan kuota ini harus memenuhi aspek keadilan termasuk didalamnya bila kewajiban daerah belum dipenuhi maka mereka tidak bisa merampas hak masyarakat.
Pembatasan atau pengurangan prosentase akan sangat bisa diterima apabila misalnya pada tahun yang sama lulusan dari jenjang dibawahnya jumlah gakinnya meningkat tajam hingga 3 kali lipat, itu baru argumentasi rasional. Sebab tanpa disediakan kuota kursi untuk warga miskin, mereka akan terancam tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Pilihan melanjutkan sekolah swasta bagi gakin akan memberatkan meskipun daerah sediakan BOSDA.
Atau misalnya karena proporsi jumlah sekolah pada jenjang tertentu dengan anak usia sekolah tertentu memang tidak imbang dan terlalu kontras jumlahnya. Argumentasi itu jauh lebih rasional sehingga tidak terkesan berapologi. Sementara kebijakan tidak boleh cabut berkas lebih banyak positifnya.
Hanya memang terkadang tidak semua orang tua memperhatikan dengan detil persyaratan, waktu dan aturan yang ditetapkan dalam proses penerimaan siswa baru. Buktinya pada hari pertama terdapat siswa dengan nilai UN yang hitungannya mepet tetapi tetap mendaftar. Prediksi saya dikarenakan memang tidak membaca secara detil apa yang dibutuhkan maupun pemetaan pendaftaran saat ini. Termasuk soal kuota luar kota bisa jadi mereka tidak tahu.
0 komentar:
Posting Komentar