Perbaikan pemahaman tentang pendidikan bagi anak-anak oleh para orang tua, akan merubah banyak tatanan dan meletakkan pondasi bagi perbaikan pendidikan. Dan dampaknya dimasa mendatang Indonesia akan menghasilkan generasi yang berkarakter kuat. Saat ini masyarakat sedang menghadapi berbagai krisis terkait pendidikan. Dengan banyak faktor yang berpengaruh, anak-anak kini jadi sasaran korban dari efek negatif perkembangan teknologi, derasnya arus informasi, pergaulan dan lain sebagainya.
Penegasan tersebut disampaikan oleh Nino Histiraludin, Kepala Divisi Pemberdayaan Anak Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) pada Rabu 25 Mei 2016. Nino menyampaikan hal itu dalam diskusi yang bertema "Problema Pendidikan di Kota Surakarta" yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa FKIP UNS. Menurut Aji Nugroho, Mahasiswa FISIP yang hadir dalam pertemuan mempertanyakan dengan kondisi pendidikan yang karut marut maka mana dulu yang harus dibenahi.
Nino menegaskan perspektif pendidikan dalam sebuah keluarga merupakan pondasi utama bagaimana tumbuh kembang anak menghadapi dunia luar. Karena landasan pokok dibangun oleh keluarga sejak anak berusia 0 hingga 8 tahun. Sementara dilingkungan sekolah formal, anak-anak mengalami transisi ketika usia diatas 8 tahun (kelas III keatas). Artinya mayoritas anak berada dalam didikan keluarga.
Sayangnya saat ini banyak keluarga di Indonesia menyerahkan pendidikannya kepada sekolah. "Ada salah persepsi dalam mindset para orang tua di Indonesia. Mereka menyimpulkan bahwa Pendidikan = sekolah. Faktanya para orang tua tidak banyak yang berkomunikasi, bermain, ngobrol dengan anak-anak mereka ketika pulang ke rumah. Itu menandakan bahwa mereka mempercayakan pendidikan pada sekolah dan ini berbahaya" tegas pria dengan tiga anak itu.
Sebab yang diberikan sekolah mayoritas merupakan ilmu pengetahuan, pembelajaran bukan pendidikan mengenai perilaku, sopan santun, budaya, mentalitas dan lain sebagainya. Akibatnya anak-anak tumbuh dengan mental rapuh, sikap yang tidak sesuai budaya, tidak punya perspektif dan lain sebagainya. Ditambah beban sekolah (banyak pelajaran, PR, materi), perkembangan teknologi (baik gadget maupun laptop membuat anak ingin memiliki), derasnya arus informasi (sosial media) menjadikan anak-anak menerima apapun tanpa filter.
Dalam diskusi tersebut, disampaikan pula bahwa banyak pemerintah daerah melanggar UUD 45 pasal 31 ayat 4 yang berbunyi " Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional." Faktanya kabupaten/kota se eks karesidenan Surakarta belum ada yang mencapai 20 persen. Kota Surakarta baru mengalokasikan APBD hanya 4,68 persen (atau tiap siswa mendapat Rp 506.200/siswa/tahun).
Itu masih lumayan dibandingkan Kabupaten Sragen yang menempati posisi 34 untuk alokasi APBD bidang pendidikan yang hanya 1,39 persen (tiap siswa mendapat Rp 118.700/siswa/tahun) dan posisi buncit ditempati Boyolali yang hanya mengalokasikan 0,67 persen (tiap siswanya mendapat Rp 70.600/siswa/tahun).
Masyarakat harusnya meminta apa yang telah diamanatkan dalam pendidikan harus dipenuhi. Pendidikan merupakan layanan dasar yang wajib disediakan. Belum lagi pemerintah pusat melalui berbagai program seperti BOS, BSM, maupun KIP berupaya memberi penanganan pada beban pendidikan masyarakat. Harusnya daerah tergerak untuk menutupi kekurangan biaya sehingga beban masyarakat bukan makin berat namun bertambah ringan.
0 komentar:
Posting Komentar