Maka dari itu di Bandarlampung dalam beberapa tahun
mendatang sulit menemukan anak dengan status tidak bersekolah. Walaupun
beberapa pihak mengaitkan kebijakan tersebut dengan aspek politis namun sudah
sepantasnya ini program yang dapat diapresiasi. Program biling sendiri bukan
hanya untuk siswa miskin namun juga biling guru.
Hanya saja sebuah kebijakan selalu meninggalkan tantangan
lain yang harus dicarikan jalan keluarnya. Program bina lingkungan merupakan
program sekolah bebas biaya bagi anak-anak miskin di Kota Bandarlampung.
Sebelumnya kuota biling untuk siswa dibatasi hanya 30 persen namun hingga 2015
kuota biling mencapai 80 persen. Tentu penambahan kuota ini memiliki dampak
atau konsekuensi lain. Apakah konsekuensi-konsekuensi yang muncul dari
kebijakan Biling? Berdasar pertemuan dengan beberapa orang di Bandarlampung,
setidaknya ada 8 konsekuensi dengan berjalannya biling.
Pertama, Beban sekolah berat baik dari sisi tanggungjawab
siswa, pengelolaan pembelajaran, penjadualan, pembiayaan dan lain sebagainya.
Paska program biling ditetapkan, sekolah terutama SMP dan SMA Negeri menjadi
tempat tujuan bersekolah tidak mampu. Sekolahpun tidak diperbolahkan menolak
siswa yang mendaftar sehingga jumlah kelas terutama untuk siswa baru tahun
ajaran 2015/2016 membludak.
Kedua, Mutu pendidikan terancam turun bila guru tidak pandai
membimbing. Sebab siswa dengan program biling tidak perlu belajar ekstra keras
agar memenuhi syarat nilai UN disebuah sekolah seperti di kabupaten/kota lain.
Guu harus ekstra keras mendorong siswa terutama dari biling untuk serius
meningkatkan prestasi mereka. Bila tidak berhasil maka sekolah negeri secara
umum kualitasnya bias turun.
Ketiga sekolah swasta biasa terancam gulung tikar.
Berduyun-duyunnya siswa biling ke sekolah negeri menjadikan sekolah swasta yang
standar mutunya biasa saja bisa kolaps. Ketika banyak siswa masuk di sekolah
yang dituju maka siswa regular akan mencari sekolah swasta dengan kualitas yang
lumayan. Mereka tidak menyasar sekolah dengan mutu dibawah standar.
Peningkatan Motivasi
Keempat, motivasi anak biling rendah. Artinya effort didalam
diri siswa biling kurang. Dengan demikian siswa yang masuk didalam sebuah
sekolah tidak terdorong berprestasi sebab dijenjang berikutnya sudah ada
jaminan diterima disekolah lanjutan. Seperti diungkapkan oleh seorang orang tua siswa, "teman anak saya malas belajar dan ketika ditanya oleh anak saya dia menjawab kan sudah dijamin masuk sekolah negeri" tuturnya media 10 September 2015 kemarin.
Kelima, sekolah negeri harus memberlakukan shift dikarenakan
jumlah siswanya melonjak pesat. Keterbatasan ruang kelas dan tidak berimbangnya
jumlah siswa menjadikan mereka mengatur jam masuk sekolah. Sudah ditemukan
beberapa sekolah baik SMPN maupun SMAN memberlakukan jam sekolah pagi dan
siang.
Keenam, standar pendidikan tidak terpenuhi terutama jumlah
rombongan belajar. Dalam Standar Pelayanan Minimal bidang pendidikan tertulis
minimal rombel yakni 20 anak dan maksimal 32 anak. Di lapangan kita bisa temukan
kelas dengan jumlah siswa mencapai 42 anak. Dengan demikian, kondisi
pembelajaran yang diberikan tidak akan optimal.
Ketujuh, jumlah guru yang tersedia dalam sebuah sekolah bisa
jadi timpang. Karena prediksi kuota belajar di sekolah akan berubah cukup drastis
dengan program biling. Disisi lain, penambahan guru tidak mudah dilakukan
karena terbentur kebijakan pemerintah mengenai moratorium PNS. Proses
penambahan guru bila disetujui juga membutuhkan waktu yang lumayan lama.
Kedelapan, siswa regular terdiskriminasi untuk masuk ke
sekolah negeri. Bayangkan dengan kuota biling 80 persen, siswa anak mampu hanya
berpeluang 20 persen saja. Artinya anak dengan kemampuan rata-rata maupun
dengan biaya minim akan kesulitan masuk sekolah negeri. Kenapa? Siswa dengan
kategori non biling (20 persen) akan menanggung kebutuhan 100 persen program yang
dibutuhkan sekolah.
Meski aspek konsekuensi lebih besar dibanding sisi
positifnya bukan berarti program ini tidak bagus. Dilihat dari sisi kewajiban
pemerintah atas hak pendidikan warganya, biling ini positif. Dengan begitu,
konsekuensi-konsekuensi yang muncul dicarikan jalan keluar. Hampir sulit
menemukan daerah dengan kebijakan yang progressif seperti ini. Buktinya Kota
Surakarta yang berniat menjalankan sekolah berdasarkan zonasi tinggal siswa
batal diterapkan. Padahal pemerataan pendidikan itu tugas pemerintah sehingga
julukan sekolah unggulan untuk sekolah negeri tidak layak disandang.
0 komentar:
Posting Komentar