Senin, 21 September 2015

Titik Lemah Program Biling Harus Dibenahi

Inisiasi program bina lingkungan yang digagas oleh Walikota Bandarlampung memang baik. Program ini mampu mengatasi ketiadaan dana bagi orang tua siswa atau motivasi anak yang kurang dalam bersekolah. Nyaris tidak ada alasan untuk tidak bersekolah di Bandarlampung karena bagi siswa biling tidak hanya bebas uang masuk, uang spp/iuran komite namun juga mendapat alat pendukung belajar seperti sepatu, tas, buku, seragam dan lain sebagainya.

Maka dari itu di Bandarlampung dalam beberapa tahun mendatang sulit menemukan anak dengan status tidak bersekolah. Walaupun beberapa pihak mengaitkan kebijakan tersebut dengan aspek politis namun sudah sepantasnya ini program yang dapat diapresiasi. Program biling sendiri bukan hanya untuk siswa miskin namun juga biling guru.

Hanya saja sebuah kebijakan selalu meninggalkan tantangan lain yang harus dicarikan jalan keluarnya. Program bina lingkungan merupakan program sekolah bebas biaya bagi anak-anak miskin di Kota Bandarlampung. Sebelumnya kuota biling untuk siswa dibatasi hanya 30 persen namun hingga 2015 kuota biling mencapai 80 persen. Tentu penambahan kuota ini memiliki dampak atau konsekuensi lain. Apakah konsekuensi-konsekuensi yang muncul dari kebijakan Biling? Berdasar pertemuan dengan beberapa orang di Bandarlampung, setidaknya ada 8 konsekuensi dengan berjalannya biling.

Pertama, Beban sekolah berat baik dari sisi tanggungjawab siswa, pengelolaan pembelajaran, penjadualan, pembiayaan dan lain sebagainya. Paska program biling ditetapkan, sekolah terutama SMP dan SMA Negeri menjadi tempat tujuan bersekolah tidak mampu. Sekolahpun tidak diperbolahkan menolak siswa yang mendaftar sehingga jumlah kelas terutama untuk siswa baru tahun ajaran 2015/2016 membludak.

Kedua, Mutu pendidikan terancam turun bila guru tidak pandai membimbing. Sebab siswa dengan program biling tidak perlu belajar ekstra keras agar memenuhi syarat nilai UN disebuah sekolah seperti di kabupaten/kota lain. Guu harus ekstra keras mendorong siswa terutama dari biling untuk serius meningkatkan prestasi mereka. Bila tidak berhasil maka sekolah negeri secara umum kualitasnya bias turun.

Ketiga sekolah swasta biasa terancam gulung tikar. Berduyun-duyunnya siswa biling ke sekolah negeri menjadikan sekolah swasta yang standar mutunya biasa saja bisa kolaps. Ketika banyak siswa masuk di sekolah yang dituju maka siswa regular akan mencari sekolah swasta dengan kualitas yang lumayan. Mereka tidak menyasar sekolah dengan mutu dibawah standar. 

Peningkatan Motivasi

Keempat, motivasi anak biling rendah. Artinya effort didalam diri siswa biling kurang. Dengan demikian siswa yang masuk didalam sebuah sekolah tidak terdorong berprestasi sebab dijenjang berikutnya sudah ada jaminan diterima disekolah lanjutan. Seperti diungkapkan oleh seorang orang tua siswa, "teman anak saya malas belajar dan ketika ditanya oleh anak saya dia menjawab kan sudah dijamin masuk sekolah negeri" tuturnya media 10 September 2015 kemarin.

Kelima, sekolah negeri harus memberlakukan shift dikarenakan jumlah siswanya melonjak pesat. Keterbatasan ruang kelas dan tidak berimbangnya jumlah siswa menjadikan mereka mengatur jam masuk sekolah. Sudah ditemukan beberapa sekolah baik SMPN maupun SMAN memberlakukan jam sekolah pagi dan siang.

Keenam, standar pendidikan tidak terpenuhi terutama jumlah rombongan belajar. Dalam Standar Pelayanan Minimal bidang pendidikan tertulis minimal rombel yakni 20 anak dan maksimal 32 anak. Di lapangan kita bisa temukan kelas dengan jumlah siswa mencapai 42 anak. Dengan demikian, kondisi pembelajaran yang diberikan tidak akan optimal.

Ketujuh, jumlah guru yang tersedia dalam sebuah sekolah bisa jadi timpang. Karena prediksi kuota belajar di sekolah akan berubah cukup drastis dengan program biling. Disisi lain, penambahan guru tidak mudah dilakukan karena terbentur kebijakan pemerintah mengenai moratorium PNS. Proses penambahan guru bila disetujui juga membutuhkan waktu yang lumayan lama.

Kedelapan, siswa regular terdiskriminasi untuk masuk ke sekolah negeri. Bayangkan dengan kuota biling 80 persen, siswa anak mampu hanya berpeluang 20 persen saja. Artinya anak dengan kemampuan rata-rata maupun dengan biaya minim akan kesulitan masuk sekolah negeri. Kenapa? Siswa dengan kategori non biling (20 persen) akan menanggung kebutuhan 100 persen program yang dibutuhkan sekolah.

Meski aspek konsekuensi lebih besar dibanding sisi positifnya bukan berarti program ini tidak bagus. Dilihat dari sisi kewajiban pemerintah atas hak pendidikan warganya, biling ini positif. Dengan begitu, konsekuensi-konsekuensi yang muncul dicarikan jalan keluar. Hampir sulit menemukan daerah dengan kebijakan yang progressif seperti ini. Buktinya Kota Surakarta yang berniat menjalankan sekolah berdasarkan zonasi tinggal siswa batal diterapkan. Padahal pemerataan pendidikan itu tugas pemerintah sehingga julukan sekolah unggulan untuk sekolah negeri tidak layak disandang.

0 komentar:

Posting Komentar