Hanya saja selama ini yang sering muncul di media yakni
sekolah dengan problem-problem mulai dari tata kelola (manajemen), sarananya,
maupun hal lain. Pendidikan sendiri sudah mendapat perhatian tinggi dari
pemerintah yakni berupa alokasi anggaran mencapai 20 persen. Pengajar pun
diberi tunjangan sertifikasi tetapi masih ada sekolah-sekolah negeri yang
pengelolaannya belum transparan, akuntabel dan partisipatif.
Sabtu (19/9/2015) YSKK diundang oleh Komite Sekolah SMPN 8
untuk menyaksikan proses rapat pleno dengan orang tua siswa untuk tahun ajaran
2015/2016. Rapat pleno diselenggarakan dalam 2 tahap yaitu tahap I untuk orang
tua siswa kelas VII dan tahap kedua untuk orang tua siswa kelas VIII dan IX.
Yang membedakan dipaparan mengenai SPJ. Untuk ortu kelas VII, tidak ada
presentasi tentang penggunaan anggaran sumbangan orang tua siswa.
Acara dimulai dengan paparan Nugroho, selaku Kepala Sekolah
dengan memaparkan Visi, Misi sekolah, capaian prestasi siswa serta penerapan 8
standar pendidikan di SMPN 8 disertai dengan kebutuhan anggaran mendatang.
Dilanjutkan dengan penjelasan Ketua Komite mengenai rencana kegiatan dan
anggaran sekolah.
“SMPN 8 sudah 3 tahun tidak menggunakan susu nenek tapi susu tante”
ujar Bintoro Ketua Komite Sekolah. Para orang tua kaget dengan pernyataan ini.
Rupanya susu nenek itu artinya
sumbangan sukarela nekad-nekadan dan susu
tante itu sumbangan sukarela tanpa tekanan. Artinya komite tidak memaksa
orang tua untuk menyumbang dana sesuai nominal yang diinginkan.
Tahun ajaran 2015/2016 sekolah mengajukan anggaran total
mencapai Rp 5,2 M namun kekurangan pembiayaan baik dari APBN untuk gaji
pegawai, BOS pusat, provinsi, BPMKS mencapai Rp 447 juta. Nah anggaran Rp 447
itulah yang kemudian diharapkan dapat ditutup oleh sumbangan orang tua siswa
dari 3 angkatan.
Yang unik yakni cara Komite Sekolah SMPN 8 mendapatkan
sumbangan dari orang tua siswa. Mereka mempersilahkan orang tua siswa menuliskan
sendiri kesediaan berapa sumbangan yang akan diberikan. Termasuk didalamnya
akan dibayar kapan, cash atau dicicil, serta bila tidak sanggup membayar.
Setelah menuliskan, kertas hvs tersebut kemudian dikumpulkan oleh anak-anak OSIS
yang memang ditugasi.
Dari pengamatan lapangan, rata-rata menuliskan sumbangan
antara Rp 100.000 hingga Rp 300.000 meski ada yang menulis Rp 500.000. Yang
jelas praktek transparansi dan partisipasi bisa dilihat secara jelas sudah
diterapkan dengan baik. Hal-hal semacam ini sudah selayaknya diekspos dan
disebarluaskan agar pendanaan pendidikan di Indonesia makin lebih baik lagi.
Sudah tidak jamannya lagi main paksa, tekan atau intimidasi.
Yang jelas, untuk orang tua gakin tidak dimintai sumbangan
namun apabila mereka mau ikut menyumbang, sekolah juga tetap menerima. Bahkan
data tahun lalu menunjukkan ketika ortu siswa tidak punya anggaran hanya punya
keahlian menyetem/mengatur/menyelaraskan gamelan, sekolah juga mempersilahkan.
Termasuk pula bila diawal bersedia membantu Rp 500.000 misalnya tetapi ditengah
perjalanan kena musibah dan membatalkan menyumbang, komite tidak keberatan.
0 komentar:
Posting Komentar