Senin, 17 Juni 2013

Mempertanyakan Konsep Otonomi Daerah

Pasca runtuhnya Orde Baru dibawah rejim Soeharto, secara cepat sistem pemerintahan yang tadinya sentralistik langsung berubah ke desentralistik. Penggantian ini tidak memerlukan waktu beberapa tahun namun begitu rejim ambruk 2009, saat itu pula keluar UU No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Akibatnya dapat dirasakan hingga sekarang pengelolaan daerah dipengaruhi banyak sengkarut. Tidak hanya korupsi, konflik vertikal, konflik horisontal, ketimpangan pertumbuhan ekonomi dan berbagai faktor lain.

Para penggagas otonomi lupa atau terkesan tergesa-gesa mengganti model tanpa kajian yang matang. Bahkan akibat turunan dari UU No 22/1999 telah mengakibatkan banyak kepala daerah, wakil rakyat yang kemudian bermasalah dengan hukum. Hingga kini meski UU tersebut berganti menjadi UU No 32 Tahun 2004 nampak ketidakmatangan gagasan secara substansi. Memang sistem pemerintahannya di desentralisasi tetapi kebijakan, keuangan, sistem birokrasi, kebudayaan dan beberapa hal lain masih sentralistik.

Kita coba membedah model pemerintahan yang otonom. Tidak cukup jelas otonom pada level propinsi atau kabupaten/kota. Akibatnya posisi atau jabatan gubernur menjadi semacam jabatan namun tak memiliki kewenangan selain sebatas dinas-dinas yang ada di propinsi. Lihat saja yang dimiliki propinsi itu hanya jalan, pengelolaan sumber air, tempat wisata, kesehatan di tempat tertentu. Artinya tidak semua jalan, mata air, tempat wisata, rumah sakit itu dibawah kewenangan propinsi.

Masih ada kewenangan rumah sakit di Kementrian kesehatan maupun kewenangan bupati/walikota. Resources birokrasi juga sebatas yang ada di dinas propinsi atau pegawai eselona II menjadi kewenangannya. Sebelum menginjak eselon II, birokrat tingkat kabupaten/kota tunduk murni pada kepala daerah tingkat II. Tidak ada satupun kepala daerah tingkat II yang benar-benar menjalankan program propinsi meski mereka memiliki anggaran tersendiri.

Secara general bahkan kita mengenal sistem yang berbeda di pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah kecamatan hingga pemerintahan desa/kelurahan. Cermati betul  5 tingkatan pemerintahan tersebut dan tidak ada pola yang sama. Tingkat kewenangan, pemilihan pimpinan ditiap tingkatan, alokasi anggaran, kewenangan pengelolaan keuangan, perangkat/birokrasi dibawahnya serta kebijakan yang dihasilkannya. Akibat dari hal ini, potensi konflik sering menjadi kendala bagi kemajuan daerah.

Maka dari itu, penting kiranya pemerintah pusat menyusun grand design penataan sistem pemerintahan, kewenangan, hak, kewajiban, pengelolaan keuangan dan lainnya. Hal ini akan memudahkan pengelolaan negara serta memantau perkembangan tiap jenjangnya. Idealnya daerah otonom meliputi 3 tingkatan saja yaitu pusat, kabupaten.kota dan kelurahan/desa. Sedangkan propinsi dan kecamatan murni kepanjangan tangan pemerintahan diatasnya.

Kondisi ini akan sangat besar pengaruhnya terutama bagi efisiensi keuangan, efektifitas birokrasi, optimalisasi kemajuan daerag serta faktor pendukung lainnya. Pemerintah pusat fokus pada kebijakan makro, monitoring dan evaluasi, pemerintah daerah (kabupaten/kota) terkait implementasi praktis serta pemerintah kelurahan/desa fokus pada peningkatan peran masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar