Sabtu, 22 Juni 2013

BBM Naik Disaat Tak Tepat

Naiknya Bahan Bakar Minyak terutama bensin dan solar mendorong peningkatan inflasi. Pemerintah nampaknya kebingungan merumuskan formula yang tepat untuk mengatasi naiknya harga minyak dunia. Akhirnya tanggal 21 Juni, BBM resmi dinaikkan dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 yakni bensin dan solar dari Rp 5.000 menjadi Rp 5.500. Bersamaan dengan itu, sebagai kompensasinya pemerintah mengucurkan BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat).

Entah apa yang dipikirkan oleh pemerintah dengan menaikkan harga BBM terlepas dari kenaikan harga minyak dunia. Sudah banyak pakar yang memberi sumbangan pemikiran tentang bagaimana mengantisipasi atau mensiasati kenaikan BBM. Demikian pula mensiasati subsidi BBM kepada masyarakat yang besarnya mencapai Rp 29,4 trilyun. Subsidi tersebut terpecah dalam beberapa program yakni Beasiswa miskin Rp 7,5 trilyun, Program Keluarga Harapan Rp 0,7 trilyun, Program Raskin Rp 4,3 trilyun, BLSM sebesar Rp 9,7 trilyun dan Program Infrastruktur Dasar Rp 7,25 trilyun.

Liburan adalah momentum berharga
Meski demikian diberbagai daerah sebelum BBM dinaikkan terjadi demonstrasi besar-besaran menolak kenaikan BBM. Masyarakat khawatir kenaikan akan memicu kenaikan harga lain terutama kebutuhan pokok. Bahkan sebelum kenaikan bensin dan solar beberapa kebutuhan sudah naik. Momentum menaikkan harga BBM sepertinya tidak dipikirkan masak-masak oleh pemerintah. Lihat saja saat ini merupakan saat masyarakat membutuhkan anggaran besar.

Pertama, tahun ajaran baru. Masyarakat sedang membutuhkan anggaran melunasi SPP, menganggarkan uang masuk sekolah, pengadaan baju seragam dan seputar pendidikan. Meski kampanye pemerintah bahwa pendidikan gratis, faktanya memasuki pendidikan di Indonesia tidak pernah bebas biaya sama sekali. Mulai dari pendaftaran sekolah hingga perlengkapan sekolah semua nyaris dipenuhi orang tua siswa. Bisa dihitung dengan jari sekolah yang benar-benar gratis.

Kedua momentum Ramadhan yang dalam tradisi di Indonesia sering disikapi berlebihan bukan malah bersikap sederhana. Secara kalkulasi normal, pengeluaran Ramadhan harusnya bisa lebih minim karena makan hanya 2 kali. Nyatanya jenis konsumsi yang dihadirkan diruang makan malah lebih mahal dan beragam dibandingkan dengan hari biasa. Inilah kesempatan pemerintah "masuk" untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya makna Ramadhan ditengah-tengah naiknya BBM.

Ketiga, pasca Ramadhan adalah lebaran yang secara tradisi juga membutuhkan anggaran lebih. Tradisi memberi pada keponakan, tetangga, saudara juga perlu dimaknai sebagai momentum peduli. Nah masyarakat tentu memikirkan penyediaan kebutuhan lebaran. Belum lagi ditambah tradisi mudik lebaran, baju baru, ketupat sayur dan lainnya. Momentum silaturahmi pada orang tua dan saudara menjadi sangat sakral dan naiknya BBM bisa jadi penghalang atas hal ini.

Keempat, keputusan menaikkan harga BBM jelang liburan sekolah membuat masyarakat makin terjepit. Padahal banyak masyarakat yang memanfaatkan momentum ini untuk bercengkerama secara intens dengan anggota keluarga. Dihari-hari biasa mereka disibukkan dengan pekerjaan yang berat atau tugas sekolah anak-anak yang menguras energi.

Keempat hal inilah yang semestinya disikapi pemerintah secara jernih dan melihat momentum kapan menaikkan harga BBM yang pas. DPR sendiri tak banyak bisa berbuat di Paripurna sehingga keputusan pemerintah menaikkan BBM meluncur begitu saja. Tak ada tawaran solusi bagaimana cara tetap memberi subsidi tanpa menaikkan BBM. Rupanya para pakar, ahli maupun akademisi tak cukup berhasil meyakinkan pemerintah untuk menempuh jalan lain selain menaikkan BBM.

0 komentar:

Posting Komentar