Selasa, 25 Juni 2013

Akankah Kita Terus Mengandalkan Perut Bumi Sebagai Sumber Energi?

Pemerintah resmi menaikkan harga BBM 22 Juni lalu yang otomatis disertai naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Mereka sepertinya mengabaikan kondisi disaat yang tidak tepat yakni saat liburan sekolah, awal tahun ajaran baru, memasuki bulan puasa maupun menjelang hari raya Idul Fitri. Idealnya pemerintah mampu menahan diri barang 1,5 bulan agar kondisi ekonomi tetap stabil dan masyarakat dapat merayakan beberapa event dengan cara yang khusuk.

Tapi ternyata pemerintah ngotot dengan argumentasi bila ditunda akan menggerogoti APBN. Disisi lain, ada beribu jalan yang hampir tidak ditempuh oleh pemerintah yakni menunda kenaikan gaji PNS maupun efisiensi belanja yang seringkali memang tidak tepat sasaran. Menaikkan BBM bukan langkah populis walaupun pemerintah menjanjikan akan mengganti dengan berbagai program dibidang lain. DPR pun seakan tak ada perlawanan. Berharap pada partai yang melakukan oposisi jelas suaranya kalah jauh.

Naik turun BBM tidak hanya terjadi di jaman SBY saja dan sudah ada sejak jaman Soeharto. Bila dilihat dari sejarah naik turun harga BBM, kenaikan tertinggi prosentasenya dialami saat Soeharto masih berkuasa diawal pemerintahan yakni hingga 837 persen. Semua presiden kecuali Habibie pernah melakukan perubahan harga BBM. SBY malah tercatat 7 kali merubah harga BBM yakni 4 kali menaikkan serta 3 kali menurunkan harga bensin.

Prosentase terbesar kenaikan harga BBM pasca era Soeharto ya di jaman SBY yang mencapai 87,5 persen tahun 2005 untuk bensin dan 104 persen untuk solar. Era Megawati 2 kali menaikkan bensin, 2 kali menaikkan dan 1 kali menurunkan harga solar kurun 2002 - 2003. Sementara jaman Gus Dur 2 kali menaikkan harga BBM pada prosentase 9 persen (2000) dan 50 persen (2001). Pada jaman Soeharto juga belum pernah terjadi yang namanya pemerintah menurunkan harga BBM.

Saat itu pengumuman BBM jarang diikuti demonstrasi penolakan kenaikan BBM karena semua dipantau secara ketat dan tindakan represif aparat keamanan sangat kuat. Maka masyarakat tak bisa menolak dan ini berbeda dengan kondisi sekarang yang jelang kenaikan harga BBM selalu disambut demonstrasi oleh mahasiswa serta kalangan buruh. Merekalah pihak pertama yang merasakan betul dampak kenaikan BBM paling nyata.

Pemerintah tentu tak bisa terus menerus mempertahankan BBM sebagai satu-satunya sumber energi utama bagi negara. Karena BBM suatu saat akan habis. Sudah banyak pilihan teknologi yang lebih sustainable dan cukup banyak tersedia namun sayangnya dukungan pemerintah akan hal ini minim. Pemerintah malah mendorong penggunaan teknologi BBG yang berbasis gas. Padahal gas juga diproduksi dari alam yang suatu saat akan habis.

Indonesia sebagai negara tropis memiliki banyak keunggulan sumber daya alam penghasil energi yang akan terus dapat diperbaharui. Sebut saja minyak jarak yang beberapa tahun lalu dikampanyekan mampu menggantikan minyak tanah. Sayangnya kini tak terdengar lagi kabarnya. Harusnya masyarakat didorong untuk membuat terobosan menghasilkan energi yang ramah lingkungan. LIPI sebagai salah satu lembaga riset yang berkualitas mampu memproduksi sumber energi alternatif yang ramah lingkungan dan murah.

Beberapa sumber energi yang juga sudah dipakai oleh negara lain yakni berupa panas matahari, angin, energi air. Masih ada lagi yang bisa dieksplorasi yakni panas bumi, gelombang air laut dan lainnya. Masyarakat yang mampu menghasilkan energi ini sebaiknya diberi penghargaan serta terobosannya dapat diproduksi secara massal sehingga lambat laun penggunaan energi dari minyak bumi dapat dikurangi. Tidak bisa lagi kita terus-terusan mengandalkan sumber energi dari sumber daya perut bumi seperti minyak, batu bara, gas dan lainnya.

0 komentar:

Posting Komentar