Bila kita membuka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tentu kita bisa melihat seberapa besar anggaran untuk melaksanakan kegiatan. Sudah lama disinyalir, ketika musim Pilkada tiba, beberapa mata anggaran tertentu mengalami kenaikan signifikan. Kenapa terjadi? karena diduga di mata anggaran tersebut mekanisme pertanggungjawabannya tidak ribet dan simple. Biasanya ada di Belanja Hibah dan Belanja Bantuan Sosial. Penggunanyapun bukan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) sehingga tak perlu repot-repot memasukkan dalam RKA. Cukup membuat proposal dan ditambah modal stempel.
Hal ini terjadi hampir diberbagai daerah tingkat II dan SKPD yang menangani pencairan biasanya DPPKAD tetapi tentu setelah proposal tersebut melewati tahap verifikasi di instansi yang terkait. Misalnya bantuan untuk posyandu, instansi verifikatornya ya Dinas Kesehatan, bantuan untuk TPA ya instansi verifikatornya Bepermas dan lain sebagainya. Pola verifikasi inilah yang kadang tidak cukup detil artinya hingga home visit. Apalagi pemilik yayasan sampai di wawancara tentang perkembangan lembaga yang mengajukan. Kendalanya ada ratusan proposal dan bila melalui mekanisme tersebut, waktu tidak akan cukup.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Hibah Daerah Pasal 8 ayat (1) disebutkan bahwa Hibah dari Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dapat diberikan kepada : (a). Pemerintah; (b). Pemerintah Daerah lain; (c). badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah; dan/atau (d). badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia.
Sedangkan tentang Bantuan Sosial diuraikan dalam Permendagri No 32 Tahun 2011 Pasal 1 ayat (15) Bantuan sosial adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.
Penjelasan lebih jauh pada pasat 32 yakni Anggota/kelompok masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) meliputi: (a). individu, keluarga, dan/atau masyarakat yang mengalami keadaan yang tidak stabil sebagai akibat dari krisis sosial, ekonomi, politik, bencana, atau fenomena alam agar dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum; (b). lembaga non pemerintahan bidang pendidikan, keagamaan, dan bidang lain yang berperan untuk melindungi individu, kelompok, dan/atau masyarakat dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.
Di eks Karesidenan Surakarta, hal ini bisa kita lihat bersama apakah benar tren tersebut. Meski tiap daerah memiliki kebijakan tersendiri namun nampaknya dapat dibaca bahwa Belanja Hibah dan Belanja Bansos adalah anggaran untuk melancarkan Pilkada sang incumben atau parpol berkuasa. Bila menggunakan dana hibah maka dana bansos akan terlihat turun drastis dan sebaliknya. Hanya Kota Surakarta yang terlihat memanfaatkan benar kedua sumber anggaran tersebut.
Yang memanfaatkan alokasi Bansos hanyalah Kabupaten Sragen dengan lonjakan belanja mencapai 295 persen dibanding anggaran sebelumnya. Sedang yang lain memanfaatkan anggaran hibah dengan lonjakan 365 persen (Boyolali/2011); 709 persen (Karanganyar/2013); 1911 persen (Klaten/2011); 65608 persen (Sukoharjo/2010); serta 364 persen (Wonogiri/2010). Hal ini harus benar-benar diawasi secara ketat agar anggaran-anggaran pemerintah benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat.
Hal ini terjadi hampir diberbagai daerah tingkat II dan SKPD yang menangani pencairan biasanya DPPKAD tetapi tentu setelah proposal tersebut melewati tahap verifikasi di instansi yang terkait. Misalnya bantuan untuk posyandu, instansi verifikatornya ya Dinas Kesehatan, bantuan untuk TPA ya instansi verifikatornya Bepermas dan lain sebagainya. Pola verifikasi inilah yang kadang tidak cukup detil artinya hingga home visit. Apalagi pemilik yayasan sampai di wawancara tentang perkembangan lembaga yang mengajukan. Kendalanya ada ratusan proposal dan bila melalui mekanisme tersebut, waktu tidak akan cukup.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Hibah Daerah Pasal 8 ayat (1) disebutkan bahwa Hibah dari Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dapat diberikan kepada : (a). Pemerintah; (b). Pemerintah Daerah lain; (c). badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah; dan/atau (d). badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia.
Sedangkan tentang Bantuan Sosial diuraikan dalam Permendagri No 32 Tahun 2011 Pasal 1 ayat (15) Bantuan sosial adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.
Penjelasan lebih jauh pada pasat 32 yakni Anggota/kelompok masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) meliputi: (a). individu, keluarga, dan/atau masyarakat yang mengalami keadaan yang tidak stabil sebagai akibat dari krisis sosial, ekonomi, politik, bencana, atau fenomena alam agar dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum; (b). lembaga non pemerintahan bidang pendidikan, keagamaan, dan bidang lain yang berperan untuk melindungi individu, kelompok, dan/atau masyarakat dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.
Di eks Karesidenan Surakarta, hal ini bisa kita lihat bersama apakah benar tren tersebut. Meski tiap daerah memiliki kebijakan tersendiri namun nampaknya dapat dibaca bahwa Belanja Hibah dan Belanja Bansos adalah anggaran untuk melancarkan Pilkada sang incumben atau parpol berkuasa. Bila menggunakan dana hibah maka dana bansos akan terlihat turun drastis dan sebaliknya. Hanya Kota Surakarta yang terlihat memanfaatkan benar kedua sumber anggaran tersebut.
Yang memanfaatkan alokasi Bansos hanyalah Kabupaten Sragen dengan lonjakan belanja mencapai 295 persen dibanding anggaran sebelumnya. Sedang yang lain memanfaatkan anggaran hibah dengan lonjakan 365 persen (Boyolali/2011); 709 persen (Karanganyar/2013); 1911 persen (Klaten/2011); 65608 persen (Sukoharjo/2010); serta 364 persen (Wonogiri/2010). Hal ini harus benar-benar diawasi secara ketat agar anggaran-anggaran pemerintah benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat.