Renovasi ruang Badan Anggaran (Banggar) DPR RI yang menghabiskan anggaran Rp 20 M sungguh sangat mengusik hati nurani rakyat. Tidak hanya biayanya namun anehnya antara Setjen DPR dengan Pimpinan Banggar justru malah lempar tanggungjawab. Setjen menyatakan renovasi sesuai dengan permintaan anggota Banggar dan Banggar menyatakan renovasi tidak melalui pemberitahuan atau seijin mereka. Perdebatan yang tak lucu dan sangat konyol.
Rupanya sikap tak bertanggungjawab ini hampir menjadi kebiasaan wakil kita. Coba sebutkan mana ada koruptor dari kalangan wakil rakyat yang menjalani sidang menyatakan bertanggungjawab. Kalau ada kasus, ramai-ramai bersilat lidah. Sungguh bukan pendidikan politik yang baik. Tapi apakah masih ada orang yang punya hati nurani disana? Sepertinya koq sulit karena bila masih ada anggota yang punya hati nurani akan berbicara apa adanya saat rapat.
Bila tidak didengar, maka dia bisa mempublish apa yang terjadi. Memang tidak semudah itu, contohnya Agus Condro. Ketika membuka tabir dugaan suap pemilihan Dewan Gubernur BI dia malah dicopot dari wakil rakyat. Wakil rakyat yang lebih mengerikan ada lagi, didalam dia menyetujui anggaran dan diluar berkata sebaliknya. Mereka-mereka inilah yang selama ini aman dilingkungan DPR maupun masyarakat. Politik pencitraan ala SBY benar-benar coba ditirunya.
Proyek tak masuk akal di DPR tahun ini tidak hanya renovasi ruang Banggar, setidaknya ada 6 proyek lain yang patut dipertanyakan yaitu :
1. Proyek renovasi toilet sebesar Rp 2 M. Padahal toilet DPR dari aspek kelayakan sungguh sudah sangat layak dan tidak perlu direnovasi. Kalau ada beberapa keran macet, keramik yang rusak tentu diganti saja dan anggarannya tak sampai miliaran.
2. Proyek renovasi tempat parkit Rp 3 M. Tempat parkir ini digunakan untuk aspri anggota, Tenaga Ahli, Pamdal, staff setjen, tamu dan lainnya. Tempat itu memang sudah hampir tak muat namun tak berarti harus keluar miliaran untuk membenahinya. Semestinya bisa dibagi zonasi misal untuk Zona parkir DPR, Zona Parkir DPD, Zona parkit staff setjen dan tamu yang biayanya bisa lebih rendah dari itu.
3. Proyek pengadaan kalender Rp 1,3 M yang kemudian ternyata hanya terpakai Rp 300 juta. Tiap anggota mendapat jatah 20 kalender. Tentu tak masuk akal dengan pemakaian Rp 300 juta penganggarannya Rp 1,3 M. Ini pasti ada sesuatu karena selisih harganya mencapai Rp 1 M.
4. Pengadaan vitamin bagi anggota sebesar Rp 824 juta. Bukankah gaji, fasilitas, dan pendukung lain sudah disediakan negara? Berapa sih harga vitamin? Bisa-bisa makin lama ada anggaran biaya hidup suami dan anak-anak mereka juga.
5. Pengadaan pencetakan majalah Parlementaria Rp 2,97 M dan Buletin Parlementaria Rp 3,59 M. Majalah dan buletin ini perlu hanya saja bila ada yang membaca. Ditengah kesibukan anggota dewan bisa dihitung berapa yang membaca buletin dan majalah itu. Ditambah kecanggihan teknologi, semestinya tak perlu ada anggaran untuk ini. Biarkan anggota membaca melalui situs saja. Toh diberbagai ruangan anggota, majalah dan buletin ini dibiarkan saja. Jangankan anggota dewan, Tenaga Ahli dan Aspri mereka saja tak membacanya.
6. Pengadaan mesin fotokopi Rp 8,86 M yang bila dikalkulasi harga 1 mesin Rp 30 juta akan diperoleh 295 mesin fotocopi. Ditengah kecepatan akses internet yang tersedia ditiap sudut ruang gedung dewan seharusnya tak perlu lagi bahan rapat selalu dicetak. Kecuali keputusan-keputusan penting. Draft materi sebaiknya cuma ditayangkan di layar LCD yang sudah ada ditiap komisi. Sehingga tidak terbuang percuma karena setelah rapat biasanya sudah tak terpakai lagi.
Keenam point diatas menandakan ketidakpedulian mereka menghemat anggaran terutama mengalihkan untuk program yang menyentuh kesejahteraan warga. Tidak ada wakil rakyat yang getol mengkritisi anggaran mereka sendiri namun keras terhadap anggaran pemerintah. Bila begitu masih layakkah mereka disebut anggota DPR?
0 komentar:
Posting Komentar