Kabupaten Sragen dibawah kepemimpinan Agus Fatkhurrahman menghadapi tantangan yang cukup berat. Selain ditinggali masalah keuangan daerah yang cukup signifikan, juga masalah-masalah lain yang pelik. Padahal dibawah kepemimpinan Untung Wiyono, sepertinya Sragen sebuah daerah yang menarik terutama bagi investasi. Saat ini yang sering muncul di media justru pemberitaan yang cenderung bernada sumbang. Untung Wiyono sendiri kini sedang jadi pesakitan di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.
Selain kasus dugaan korupsi APBD tahun 2003 - 2010 sebesar Rp 40 miliar, kini ijazah Untung juga dimasalahkan. Nama Agus Fatkhurrahman juga secara otomatis terbawa karena posisi sebelum jadi bupati adalah wakil bupati. Ternyata prestasi Untung tak juga menyurutkan aparat penegak hukum untuk mengusut kasus-kasus di Bumi Sukowati. Kini yang juga menjadi perbincangan hangat adalah soal Job Training atau tenaga honorer di Sragen.
Pada jaman Untung, untuk mengisi beberapa kebutuhan pegawai maka dibuka lowongan untuk Job Training (JT) membantu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menjalankan programnya. Alasannya berdasar PP No 48 Tahun 2005 tak memperbolehkan Pemda merekrut PNS. Hingga akhir tahun 2011, diduga ada sekitar 1.700 orang. Memang dalam kontrak mereka disebut tak menuntut diangkat menjadi PNS. Yang membikin semakin aneh adalah adanya klausul tak menuntut gaji.
Bagaimana bisa, orang bekerja tak menuntut gaji. Sikap yang diambil oleh Agus cukup jelas yakni tak memperpanjang kontrak JT. Masalahnya tidak berhenti disini, para JT tidak terima diberhentikan. Beragam isu muncul mengiringi soal ini termasuk soal dugaan pungutan hingga Rp 40 juta bila ingin diangkat menjadi JT. Entah sudah berapa kali para tenaga kontrak ini berdemo dan mengadukan kasusnya ke berbagai pihak agar ada penyelesaian.
Terlihat bahwa mereka ingin bekerja kembali. Jelas ada banyak kelemahan dalam aspek kasus ini. Pertama, keputusan bupati sudah benar, mereka harus berhenti karena landasan hukumnya sangat lemah. Kasus ini tidak hanya ada di Sragen namun diberbagai daerah. Dalam PP No 48/2005 sangat jelas mengaturnya. Kalau mau aman, kontrak mereka dengan memakai sistem tiap proyek dan tentu sesuai spesifikasi keahlian. Sehingga mereka dibayar dengan biaya dari belanja tidak langsung pegawai.
Kedua, meski dituding sebagai kebijakan politis Bupati hendaknya mengabaikan saja karena bila tidak justru bisa timbul masalah dikemudian hari. Jika pun ada yang menyuap saat masuk sebagai JT harus ditindaklanjuti untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Bupati harus berani menindak bawahannya yang berlaku melanggar peraturan. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa pemerintahan dirinya bersih dan bertindak tegas terhadap perilaku korupsi.
Ketiga, tidak membuka lagi kesempatan untuk penerimaan pegawai tanpa persetujuan pemerintah pusat. Selain melanggar regulasi, belanja pegawai di Sragen sudah banyak menggerogoti anggaran daerah. Sudah tiga tahun terakhir belanja pegawai pada belanja langsung mencapai 63,70 persen (2009), 66,03 persen (2010) dan 66,47 persen (2011). Bila dibandingkan DAU pada tahun tersebut juga semakin berkurang. Tahun 2009 DAU untuk bayar pegawai tersisa Rp 35,6 M, Tahun 2010 DAU sudah minus Rp 4,7 M untuk bayar pegawai dan Tahun 2011 malah minus Rp 75,6 M.
0 komentar:
Posting Komentar