Sebagai salah satu daerah yang merupakan penghasil beras di Propinsi Jawa Tengah, Karanganyar berkontribusi besar. Produksi pertaniannya hingga tahun 2011 masih bisa surplus meskipun kendala cuaca dan hama tahun lalu menyerang hebat. Belum lagi krisis air yang melanda sebagian wilayah Karanganyar. Memang ada beberapa kecamatan yang tidak mengalami kesulitan pengairan namun ada juga yang kesulitan memenuhi pasokan air. Hal ini berpengaruh pada produksi pertanian.
Pertanyaannya apakah kondisi itu dapat bertahan 5 hingga 10 tahun ke depan? Tuntutan perluasan lahan hunian, pertambahan jumlah penduduk, minimnya pendapatan petani dapat mempengaruhi luasan lahan pertanian. Petani sendiri menghadapi problem yang cukup komplek baik di internal maupun eksternal. Dari internal faktor terbesar yang mempengaruhi adalah harga jual gabah yang tak pernah memuaskan. Belum lagi ditambah biaya hidup yang makin tinggi mengakibatkan petani makin terjepit.
Faktor eksternal seperti tak ada pendampingan dari Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Pertanian, kebijakan pemerintah untuk memproteksi petani maupun produksi pertanian serta makin mencekiknya harga pupuk jelas menjadikan petani akan berpikir ulang mempertahankan lahannya. Beberapa kecamatan di Karanganyar yang potensial namun akan berubah fungsi misalnya di Palur, Colomadu maupun Gondangrejo. Di Palur, merupakan wilayah yang padat industri. Kalau toh pun dipertahankan, faktor lingkungan cukup mengkhawatirkan atau potensial tercemar limbah.
Sedangkan di Colomadu dan Gondangrejo yang terletak diperbatasan dengan Kota Surakarta tentu terdesak berubah menjadi hunian, Lihat saja daerah Colomadu yang berkembang secara pesat terutama tumbuhnya perumahan yang selalu laku keras. Petani tentu berpikir buat apa mempertahankan lahannya bila hasil yang didapat dari menjual hasil pertanian tak seberapa. Apalagi di kawasan itu terdapat jalur utama Bandara, jalur propinsi serta perkembangan Kartosuro (Sukoharjo) yang juga pesat.
Berdasarkan data yang diperoleh, luas lahan pertanian pada Tahun 2003 masih seluas 22.868 ha dan tahun 2008 berkurang tajam hingga masih 22.341 ha. Kondisi ini harus benar-benar diperhatikan kepala daerah. Letak sawah yang menghampar ditepi jalan Adi Sutjipto memang menggiurkan. Pasti banyak investor berlomba-lomba membeli tanah disana sebab merupakan jalur strategis. Kalau kita melakukan perjalanan antara Kleco hingga Kartosuro, sudah sulit kita lihat hamparan areal persawahan yang pada tahun 2000an masih terlihat.
Mempertahankan areal persawahan sebenarnya tidak hanya berkaitan dengan produksi beras namun juga hal lain. Sebut saja kawasan serapan air bagi wilayah tersebut dan hal itu bisa dilihat saat musim hujan. Awal tahun 2000an perumahan di Colomadu tak was-was bila hujan deras tiba berjam-jam lamanya. Kini hujan deras selama 3 jam, beberapa warga perumahan sudah tak tenang. Dengan berbagai argumentasi diatas, Pemkab harus segera mengambil kebijakan strategis agar penjualan sawah produktif tidak makin menggila yang dampaknya bisa merugikan.
Pertama, Pemkab harus konsisten memegang grand design tata ruang yang ada di Perda RUTRK. Selain Pemkab, masyarakat harus faham apa kebijakan Pemda sehingga bisa ikut berkontribusi. Sosialisasi dan kampanye pentingnya menjaga kawasan harus benar-benar dilakukan. Tanpa kampanye yang masif maka akan sulit mengharapkan partisipasi maupun kesadaran warga akan menjaga kawasan sesuai peruntukannya.Kegiatan ini harus dipastikan dilaksanakan terutama oleh SKPD terkait.
Kedua, Bupati perlu memastikan bawahannya ikut bekerja keras menjaga kawasan sesuai konsep. Kontrol yang ketat agar para bawahan tidak mudah tergoda melenceng dari kebijakan yang sudah ditetapkan. Bila sebuah kawasan sudah tumbuh secara pesat, biasanya para investor tak segan "membeli" perijinan meski harganya lipat dua bahkan tiga. Ketiga, orientasi pendapatan daerah jangan sampai melacurkan atau mengorbankan sebuah komunitas.
Komunitas petani perlu didengar apa problem dan hambatan dalam menjaga lahan pertaniannya. Pertanian sebenarnya bisa menjadi komoditas yang mendatangkan hasil bagi daerah yang signifikan bila dikelola secara profesional. Lihat saja tempat wisata Mekarsari yang mampu menarik wisatawan datang ke sana meski isinya tentang perkebunan maupun pertanian. Beberapa kawasan yang coba dibangun oleh Pemkab seperti di Tawangmangu harus benar-benar diperhatikan supaya mampu menarik wisatawan.
Keempat,adanya reward dan punishment bagi pihak yang berkaitan. Reward misalnya bisa diberikan pada petani baik langsung maupun tidak langsung. Reward langsung misalnya berupa subsidi pupuk, jaminan pengairan, harga stabil saat panen, pinjaman modal dan lain sebagainya. Sementara reward tidak langsung bisa berupa beasiswa bagi anak petani, KTP dan KK gratis, bebas pajak lahan dan lain sebagainya. Sedangkan untuk punishment umpamanya biaya perubahan status lahan apalagi peruntukan dinaikkan secara signifikan.
Keempat hal itulah yang menjadi dasar bagi kepala daerah untuk membuat roadmap mempertahankan kawasan pertanian. Beberapa daerah malah sudah membuat lahan atau kawasan pertanian abadi. Pemilik lahan atau kawasan pertanian abadi benar-benar mendapat fasilitas ekslusif supaya lahan itu tidak beralih fungsi. Kita tentu berharap tidak hanya Karanganyar yang melakukannya namun juga kabupaten lain di eks Karesidenan Surakarta.
Pertanyaannya apakah kondisi itu dapat bertahan 5 hingga 10 tahun ke depan? Tuntutan perluasan lahan hunian, pertambahan jumlah penduduk, minimnya pendapatan petani dapat mempengaruhi luasan lahan pertanian. Petani sendiri menghadapi problem yang cukup komplek baik di internal maupun eksternal. Dari internal faktor terbesar yang mempengaruhi adalah harga jual gabah yang tak pernah memuaskan. Belum lagi ditambah biaya hidup yang makin tinggi mengakibatkan petani makin terjepit.
Faktor eksternal seperti tak ada pendampingan dari Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Pertanian, kebijakan pemerintah untuk memproteksi petani maupun produksi pertanian serta makin mencekiknya harga pupuk jelas menjadikan petani akan berpikir ulang mempertahankan lahannya. Beberapa kecamatan di Karanganyar yang potensial namun akan berubah fungsi misalnya di Palur, Colomadu maupun Gondangrejo. Di Palur, merupakan wilayah yang padat industri. Kalau toh pun dipertahankan, faktor lingkungan cukup mengkhawatirkan atau potensial tercemar limbah.
Sedangkan di Colomadu dan Gondangrejo yang terletak diperbatasan dengan Kota Surakarta tentu terdesak berubah menjadi hunian, Lihat saja daerah Colomadu yang berkembang secara pesat terutama tumbuhnya perumahan yang selalu laku keras. Petani tentu berpikir buat apa mempertahankan lahannya bila hasil yang didapat dari menjual hasil pertanian tak seberapa. Apalagi di kawasan itu terdapat jalur utama Bandara, jalur propinsi serta perkembangan Kartosuro (Sukoharjo) yang juga pesat.
Berdasarkan data yang diperoleh, luas lahan pertanian pada Tahun 2003 masih seluas 22.868 ha dan tahun 2008 berkurang tajam hingga masih 22.341 ha. Kondisi ini harus benar-benar diperhatikan kepala daerah. Letak sawah yang menghampar ditepi jalan Adi Sutjipto memang menggiurkan. Pasti banyak investor berlomba-lomba membeli tanah disana sebab merupakan jalur strategis. Kalau kita melakukan perjalanan antara Kleco hingga Kartosuro, sudah sulit kita lihat hamparan areal persawahan yang pada tahun 2000an masih terlihat.
Mempertahankan areal persawahan sebenarnya tidak hanya berkaitan dengan produksi beras namun juga hal lain. Sebut saja kawasan serapan air bagi wilayah tersebut dan hal itu bisa dilihat saat musim hujan. Awal tahun 2000an perumahan di Colomadu tak was-was bila hujan deras tiba berjam-jam lamanya. Kini hujan deras selama 3 jam, beberapa warga perumahan sudah tak tenang. Dengan berbagai argumentasi diatas, Pemkab harus segera mengambil kebijakan strategis agar penjualan sawah produktif tidak makin menggila yang dampaknya bisa merugikan.
Pertama, Pemkab harus konsisten memegang grand design tata ruang yang ada di Perda RUTRK. Selain Pemkab, masyarakat harus faham apa kebijakan Pemda sehingga bisa ikut berkontribusi. Sosialisasi dan kampanye pentingnya menjaga kawasan harus benar-benar dilakukan. Tanpa kampanye yang masif maka akan sulit mengharapkan partisipasi maupun kesadaran warga akan menjaga kawasan sesuai peruntukannya.Kegiatan ini harus dipastikan dilaksanakan terutama oleh SKPD terkait.
Kedua, Bupati perlu memastikan bawahannya ikut bekerja keras menjaga kawasan sesuai konsep. Kontrol yang ketat agar para bawahan tidak mudah tergoda melenceng dari kebijakan yang sudah ditetapkan. Bila sebuah kawasan sudah tumbuh secara pesat, biasanya para investor tak segan "membeli" perijinan meski harganya lipat dua bahkan tiga. Ketiga, orientasi pendapatan daerah jangan sampai melacurkan atau mengorbankan sebuah komunitas.
Komunitas petani perlu didengar apa problem dan hambatan dalam menjaga lahan pertaniannya. Pertanian sebenarnya bisa menjadi komoditas yang mendatangkan hasil bagi daerah yang signifikan bila dikelola secara profesional. Lihat saja tempat wisata Mekarsari yang mampu menarik wisatawan datang ke sana meski isinya tentang perkebunan maupun pertanian. Beberapa kawasan yang coba dibangun oleh Pemkab seperti di Tawangmangu harus benar-benar diperhatikan supaya mampu menarik wisatawan.
Keempat,adanya reward dan punishment bagi pihak yang berkaitan. Reward misalnya bisa diberikan pada petani baik langsung maupun tidak langsung. Reward langsung misalnya berupa subsidi pupuk, jaminan pengairan, harga stabil saat panen, pinjaman modal dan lain sebagainya. Sementara reward tidak langsung bisa berupa beasiswa bagi anak petani, KTP dan KK gratis, bebas pajak lahan dan lain sebagainya. Sedangkan untuk punishment umpamanya biaya perubahan status lahan apalagi peruntukan dinaikkan secara signifikan.
Keempat hal itulah yang menjadi dasar bagi kepala daerah untuk membuat roadmap mempertahankan kawasan pertanian. Beberapa daerah malah sudah membuat lahan atau kawasan pertanian abadi. Pemilik lahan atau kawasan pertanian abadi benar-benar mendapat fasilitas ekslusif supaya lahan itu tidak beralih fungsi. Kita tentu berharap tidak hanya Karanganyar yang melakukannya namun juga kabupaten lain di eks Karesidenan Surakarta.