Seperti diketahui, Pemprov Jawa Tengah memberi ijin pembangunan Ramayana Mall di bekas pabrik es Saripetojo milik Perusda Prop Jateng. Lahan itu seluas 12.429 M2 yang akan digunakan untuk bangunan sebanyak 9.726 M2. Mall tersebut direncanakan mencapai 5 lantai dengan 2 basement untuk parkir mobil. Namun rencana ini ditolak oleh masyarakat maupun pemerintah Kota Surakarta. Dalam berbagai kesempatan, Bibit Waluyo mengungkapkan kata-kata yang tak pantas.
Dalam Solopos edisi 23 Juni misalnya, dia mempertanyakan yang punya Solo itu siapa? Pemkot Solo atau Pemprov Jateng? dan yang punya Pemprov itu apakah Pemkot Solo atau Gubernur Jateng. Kemudian dalam wawancara Koran Tempo Suplemen Jateng Edisi 27 Juni, Bibit Waluyo menyatakan Walikota Solo bodoh menentang kebijakan gubernur dalam hal mendirikan mall. Karuan saja statement ini menjadi polemik di media on line.
Bekas Pabrik Es Saripetojo |
Pendirian Solo Grand Mall, Solo Square maupun Solo Center Point (yang juga akan diisi mall) sebenarnya menyalahi RTRW Kota Solo. Akankah salah kebijakan saat Walikota dijabat Slamet Suryanto akan diulangi Jokowi? Tentu kita tidak berharap demikian. Belum lagi kelengkapan ijin lainnya seperti IMB, Amdal Lingkungan, Amdal Lalu Lintas juga belum dikantongi oleh Perusahaan Daerah Citra Mandiri Jawa Tengah. Tapi mereka tetap nekad mulai membongkar bangunan utama.
Aspek kedua adalah tentang budaya. Apakah benar bangunan tersebut merupakan benda cagar budaya? Pemprov menyatakan berdasarkan SK Walikota Solo Tahun 1997 Nomor 646/116/1/1997 menyatakan pabrik es itu tidak masuk BCB (Benda Cagar Budaya). Namun BP3 Jateng sejak tahun 1964 menyatakan sebaliknya. Dalam nomor inventarisasi 11-72/ska/TB/64, bangunan itu masuk cagar budaya. BP3 Jateng juga mengajukan usulan penetapan ke Kembudpar agar bekas pabrik itu ditetapkan sebagai BCB dengan nomor usulan 1388/101.sp/BP3/P-IV/2010.
Jika keputusan dari Kembudpar belum keluar, selayaknya Pemprov Jateng menunggu apa hasil dari Kembudpar bukan malah mengabaikan. SK Walikota yang dijadikan acuan sebenarnya lemah sebab kini BCB sudah mengacu pada regulasi terbaru yakni UU No 11 Tahun 2011 Tentang Benda Cagar Budaya. Sebagai perusahaan daerah (PD CMJT), mereka seharusnya faham, mengerti dan memberi contoh patuh pada hukum bukan menjadi yang terdepan dalam melakukan pelanggaran.
Aspek ketiga adalah aspek lingkungan yang menyangkut hajat hidup masyarakat sekitar setidaknya masyarakat Kelurahan Sondakan Kecamatan Laweyan. Secara langsung mereka sudah menyatakan penolakannya dengan berdemo. Belum lagi pendirian mall pasti memakai air bawah tanah yang bisa menguras sumber mata air warga sekitarnya. Ditambah polusi suara dan udara yang ditimbulkan oleh keramaian yang ada. Aspek ini harus juga jeli dikaji mendalam.
Salah satu pasar tradisional yang banyak menyumbang PAD Solo |
Belum tentu dengan ramainya lingkungan tidak menambah atau menimbulkan konsekuensi lain misalnya daerah Jantirejo dan Premulung akan banyak dimasuki orang dari luar daerah. Potensi kriminalitas biasanya juga ikut naik dengan berubahnya kawasan. Aspek selanjutnya yakni lalu lintas. Jalan Agus Salim merupakan jalan protokol jalur bus dari Pacitan dan Wonogiri masuk kota Solo. Di bundaran Purwosari juga terdapat SPBU, Stasiun Purwosari, Perlintasan Kereta Api.
Bisa dibayangkan kemacetan yang akan timbul karena saat ini saja jika jam berangkat kerja maupun pulang sekolah dan kerja ditambah melintasnya kereta selalu macet. Kawasan Kerten terdapat beberapa sekolah, rumah sakit, akses ke terminal maupun masuk kota. Tentu dengan berdirinya mall akan menambah crowded jika kereta melintas. Belum lagi ada jalan transito yang merupakan jalur memotong kearah Kartosuro. Kapasitas jalan Transito hanya sekitar 6-7 meter, Jalan Agus Salim 8-9 meter dan Slamet Riyadi sekitar 10-12 meter dengan dipisah marka jalan.
Pada siang hari, bus jurusan Jakarta dari Wonogiri juga masuk ke Kota Solo dengan jumlah puluhan. Rel kereta yang melintaspun merupakan jalur utama dan rel ganda sehingga kadang dilintasi 2 kereta beriringan yang membutuhkan waktu menutup palang 10 menit. Apa jadinya kawasan ini bila ada bangunan mall yang jalur keluar masuk pintu mall tak mungkin dilewatkan ke perkampungan. Aspek terakhir atau keenam adalah aspek komunikasi massa terkait rencana pendirian mall.
Dalam menyampaikan rencana tersebut, Bibit Waluyo sebagai gubernur menyampaikan dengan arogan bahkan sampai keluar kata-kata membodohkan walikota. Padahal sudah jamak diketahui, Walikota Solo sangat dicintai warganya terbukti terpilih 2 kali sebagai walikota dengan pemilih lebih dari 93 persen dengan tingkat prosentase penggunaan hak pilih lebih dari 85 persen. Komunikasi massa itu menambah luka masyarakat yang secara jelas berpihak pada Jokowi.
Guna mengurangi potensi konflik dan mengupayakan pendirian mall apakah sesuai regulasi dan bisa diterima masyarakat hendaknya Pemprov dan Pemkot duduk bersama. Kaji secara mendalam berbagai landasan hukum termasuk RTRW. Penuhi tahapan perijinan baru melaksanakan proyek. Satu hal yang juga penting, tanya masyarakat apakah masih butuh mall atau tidak. Di Solo pernah 2 mall tutup yakni Hero dan Ramayana yang berada di Slamet Riyadi yang merupakan jalur utama.
Kawasan Purwosari sendiri sudah ada Solo Square dan rencana pendirian SCP belum lagi jarak dengan pasar tradisional hanya 500 meter. Apakah hal ini tidak menyalahi Perda tentang perlindungan pasar tradisional yang sedang digodok DPRD Solo? Disisi lain, jika Jokowi hendak mempertahankan aset cagar budaya, segera keluarkan kebijakan pendataan BCB yang ada di Solo dan beri insentif supaya pengalihan bentuk dapat dicegah.
Untuk pak Bibit Waluyo, sebaiknya anda melakukan introspeksi. Anda dipilih oleh warga Jawa Tengah termasuk masyarakat Solo. Jika anda mengabaikan suara rakyat, berarti anda mengabaikan suara Tuhan. Kekuasaan itu tak ada yang abadi dan jika kita tak menggunakan dengan bijak, balasan yang akan kita terima akan setimpal. Mumpung belum terlambat, segera mintalah maaf pada Walikota Solo Joko Widodo dan masyarakat Solo secara umum.
0 komentar:
Posting Komentar