Rabu, 01 Juni 2011

Mahalnya Parkir Di Kota Solo

Pajak parkir merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah di sebuah daerah. Diakui atau tidak, pajak tersebut mampu menyumbangkan pendapatan yang cukup signifikan apalagi jika dikelola dengan baik dan benar. Belum lagi retribusi di daerah kawasan perkotaan yang cukup ramai ditambah pajak parkir di lokasi-lokasi strategis. Pajak ini setali tiga uang dengan retribusi reklame/iklan, retribusi pasar yang rawan kebocoran.

Selama ini belum ada metode yang pas untuk mengantisipasi kebocoran itu selain dengan kesadaran penagih atau petugas penarik pajak/retribusi. Cara yang banyak digunakan oleh pemerintah daerah biasanya dengan cara lelang. Kerugian cara ini adalah menafikkan pendapatan riil dari para penarik retibusi/pajak. Keuntungannya jika potensi riil lebih kecil dari nominal yang dilelangkan sehingga pemerintah daerah tetap mendapatkan hasil apapun kondisinya.

Salah satu potensi parkir di belakang Singosaren
Keuntungan lainnya adalah, tidak mengatur secara teknis dan mengkoordinasi, mengontrol bahkan mencatat pemasukan harian. Kegiatan ini banyak menyita waktu, tenaga dan pikiran apalagi bila titik pendapatan dari pajak parkir tersebar luas di daerah. Hingga saat ini berbagai wilayah di Indonesia menarik pajak parkir sebesar Rp 500 untuk kendaraan roda dua dan Rp 1.000 untuk roda empat. Khusus untuk DKI Jakarta, mereka menerapkan pajak parkir progressif. Artinya pajak ditarik dengan hitungan jam.

Kota Solo sebagai salah satu kota yang tumbuh dengan cepat pasca reformasi juga menerapkan teknik lelang untuk parkir. Namun pendapatan dari sektor ini bila dihitung secara kasar masih belum optimal. Berbagai even lokal, regional, nasional hingga internasional kerap digelar 5 tahun belakangan ini. Maka secara otomatis akan mendongkrak potensi pendapatan dari sektor parkir. Setidaknya tercatat ada 10 titik parkir yang dilelang dan 205 titik parkir dengan model penunjukan langsung.

Pendapatan dari sektor ini terus meningkat pesat dari tahun ke tahun. Tahun 2004 pajak parkir hanya menyumbang Rp 75 juta, kemudian naik jadi Rp 200 juta (2005), naik kembali jadi Rp 500 juta (2007), Rp 700 juta (2008), Rp 945 juta (2009) tahun kemarin (2010) mencapai Rp 1,069 M sedangkan tahun ini ditarget “hanya” Rp 1,1 M. Padahal perkembangan event tahunan di Kota Solo relatif bertambah tidak hanya kuantitas acara namun juga kuantitas pengunjungnya.

Idealnya penetapan target pajak parkir tahun 2011 itu mencapai Rp 1,250 M. Apalagi sudah jadi rahasia umum petugas parkir bertingkah nakal. Sebut saja di kawasan acara pernikahan disekitar gedung pertemuan. Mereka seenaknya menarik pajak parkir Rp 2.000 untuk kendaraan roda dua dan Rp 5.000 untuk kendaraan roda empat. Tidak pernah ada sanksi atau teguran dari Dinas Perhubungan terkait hal ini.

Belum lagi ulah beberapa petugas parkir di kawasan mall. Anda jangan kaget jika berkunjung ke mall di Solo pada hari Sabtu dan Minggu maka tarif parkir kendaraan roda dua anda menjadi Rp 2.000. Padahal di karcis itu tertera jelas tarif parkir sesuai Perda No 6 Tahun 2004 tentang Perubahan Perda No 7 Tahun 2003 tentang Retribusi Parkir sebesar Rp 500. Belum lagi, karcis parkir diminta kembali tidak diberikan pada konsumen sebagai bukti telah membayar parkir.

Kemana pajak parkir Kampung Laweyan masuk?
Apalagi menjelang lebaran, nampaknya petugas parkir kompak menaikkan tarif menjadi Rp 2.000. Alasan yang dikemukakan adalah bagi-bagi rejeki dari konsumen pada petugas parkir. Tanpa dinaikkan pun sebenarnya pengunjung toko, butik maupun mall otomatis bertambah namun mereka tidak mau tahu. Betapa mahalnya tarif parkir di Kota Solo. Pemerintah daerah tak boleh menutup mata dengan hal ini karena petugas parkir jelas telah melanggar Perda atau melanggar hukum. Mereka bisa diberikan sanksi baik disidangkan maupun dicabut ijin pengelolaan parkirnya.

DPRD Kota Solo tidak boleh sekedar memanggil, menegur atau hanya prihatin. Sebagai wakil rakyat mereka harus riil bertindak tegas. Bila Kepala Dinas Perhubungan tak mampu menata petugas parkir sebaiknya meminta Walikota segera mengganti. Hal ini tidak boleh dibiarkan saja karena merugikan masyarakat umum. Apalagi disisi yang lain walikota sedang membangun citra kota sebagai kota wisata yang menarik.

Kalau wisatawan baik dalam negeri maupun mancanegara tahu hal ini, maka potensi kunjungan mereka bisa merosot drastis. Kita tidak boleh menyepelekan uang yang terkesan hanya selisih Rp 500 – Rp 1.000 tetapi bila dikalikan berapa kendaraan dalam satu hari maka potensi kebocorannya akan sangat besar. Sudah berkali-kali dan melalui media apapun masyarakat menyuarakan kondisi ini tetapi nampaknya penyelesaian dan penegakan Perda No 6 Tahun 2004 masih sebatas angan-angan saja.

0 komentar:

Posting Komentar