Kamis, 05 Mei 2011

Makna Dibalik Usulan Gedung Baru DPR (4)

Rakyat Berharap Anggota DPR Yang Profesional

Yang banyak diketahui masyarakat untuk makna “U” selanjutnya adalah untung. Ya, mereka para wakil rakyat kita memang suka mencari untung. Dengan posisi dan jabatan mereka, memungkinkan untuk memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki. Mantan anggota DPR biasanya masuk ke jabatan-jabatan strategis termasuk menjadi menteri, dirut atau komisaris BUMN, anggota institusi setingkat menteri dan masih banyak lagi. Posisi sebagai wakil rakyat benar-benar digunakan untuk melakukan negosiasi dan tawar menawar.
Bila bukan sanak family, orang lain juga berusaha dibantu untuk menduduki jabatan tertentu.

Beberapa jabatan di partai politik biasanya berhubungan family atau masih kerabat dengan ketua partai politik yang bersangkutan. Argumentasinya “sudah kenal dan tahu kapasitasnya” adalah alasan klise tapi mengerikan. Bila sistem di negara atau parpol sudah maju, soal begini tidak masalah. Namun pendidikan politik di Indonesia masih belum fairness sehingga hubungan kekerabatan jauh lebih kental dibanding murni profesionalitas. Salah satu contoh sebut saja Edy Baskoro yang umurnya belum genap 35 tahun sudah jadi Sekjen Partai Demokrat.

Dalam gedung DPR/MPR juga banyak yang menduduki kursi ada suami istri, bapak anak atau kerabat lain. Sekali lagi, jika sistem sudah berjalan fair tidak masalah. Hanya pada soal etika saja. Apakah pantas bila dalam satu rumah bisa berada dalam satu wilayah kerja. Beberapa perusahaanpun sudah melarang ada pegawainya yang masih punya hubungan perkawinan maupun hubungan darah. Soalnya hal ini bisa menimbulkan konflik kepentingan atau bekerja dengan tidak profesional. Ini bukan soal HAM namun lebih pada etika apalagi sebagai orang timur kita sangat menjunjung tinggi masalah ini.

Salah satu sudut gedung DPR/MPR RI
Anggota dewan juga rentan memanfaatkan posisinya untuk mencari keuntungan lain seperti soal loby dengan daerah yang diwakilinya. Telah menjadi rahasia umum banyak anggota yang berupaya mencarikan proyek. Kasak kusuk soal itu santer terdengar bila kita jadi komunitas di senayan. Hampir tiap saat kita mendengar berbagai macam “suara” yang tidak sepantasnya. Orang daerah juga berlalu lalang ditiap lantai menenteng map, proposal, permohonan dan banyak lagi ragamnya. Mestinya area itu bisa lebih disterilkan.

Yang paling konkrit dibalik usulan gedung baru berbentuk “U” terbalik ya tentu saja uang. Dari gaji rutin perbulan saja mencapai Rp 46,1juta. Itu belum ditambah tunjangan jabatan di komisi, di panitia kerja, di panitia khusus,  honor pembahasan undang-undang, gaji ke 13, uang reses (besarannya sesuai dapil), uang studi banding dan masih banyak lagi. Diakui atau tidak, seringkali pasca studi banding bila masih ada anggaran yang tersisa, itu dibagikan ke anggota. Besarannya tidak tetap tiap bulan. Kalau diperjalanan banyak di fasilitasi oleh pihak yang didatangi maka akan ada sisa perjalanan dinas yang cukup besar.

Satu dua anggota DPR juga pernah ditangkap KPK karena soal uang panas ini. Kasus besar yang sampai sekarang belum tuntas adalah uang jasa pemilihan gubernur BI. Meski sudah dibuka oleh Agus Tjondro namun tersangka lainnya masih berupaya mengelak. Tempat parkiran gedung DPR saja bak showroom mobil mewah meski kita tidak bisa menjustifikasi bahwa itu hasil dari uang panas. Bagi beberapa anggota dewan yang berlatar belakang pengusaha tentu tidak masalah. Namun ada juga anggota dewan yang berlatar belakang pendidik, birokrat atau LSM bila tiba-tiba memiliki mobil dan rumah mewah tentu menimbulkan pertanyaan.

0 komentar:

Posting Komentar